Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Koalisi Masyarakat Sipil mengirimkan surat terbuka kepada Badan Pengawas Pemilu terkait diloloskannya sejumlah mantan narapidana kasus korupsi oleh Bawaslu di daerah.
"Sikap Bawaslu yang mengabulkan permohonan sengketa pencalonan mantan napi korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU tidak hanya melukai impian kami mempunyai legislatif yang lebih bersih tetapi juga membuat kami bertanya-tanya. Ada apa dengan Bawaslu?" kata koalisi masyarakat sipil dalam surat terbukanya, Jumat.
Koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih tersebut adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Kode Inisiatif, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), NETGRIT.
Pemuda Muhammadiyah, Banten Bersih, Rumah Kebangsaan, Madrasah Antikorupsi, Lingkar Madani (LIMA), Indonesia Budget Center (IBC), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (ANSIPOL) dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Koalisi masyarakat sipil mendesak Bawaslu RI untuk mengikuti Peraturan Komisi Pemilihan Umum no 20/2018 yang memastikan bahwa tidak ada mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba yang diloloskan sebagai calon anggota legislatif oleh KPU.
PKPU No 20/2018 merupakan peraturan yang sah dan mengikat, karena telah dimasukan dalam lembar negara. Peraturan tersebut hingga kini tidak melanggar UU, karena belum ada putusan yang menyatakan hal itu meski sejumlah pihak tengah mengajukan uji materi.
Pasal 76 ayat 1 UU no 7/2017 tentang Pemilu telah mengatur bahwa dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan UU pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Artinya, Bawaslu seharusnya tidak potong kompas dan menarik simpulan sendiri dikarenakan koreksi atas Peraturan KPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu. Sedangkan hingga saat ini, belum ada putusan MA yang menyebutkan Peraturan KPU bertentangan dengan UU.
"Putusan pengawas pemilu di enam daerah, yaitu Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba, terhadap sengketa pencalonan mantan napi korupsi secara terang benderang tidak menjadikan Peraturan KPU tentang Pencalonan sebagai rujukan," katanya.
Padahal, Peraturan KPU sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Bawaslu justru diamanatkan mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU, sebagaimana disebut dalam pasal 93 huruf l UU Pemilu.
"Pun demikian, masih besar harapan kami untuk Bawaslu RI segera menjalankan kewenangannya meluruskan kekeliruan dengan mengoreksi dan memberikan rekomendasi putusan Bawaslu daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 huruf h UU Pemilu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
"Sikap Bawaslu yang mengabulkan permohonan sengketa pencalonan mantan napi korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU tidak hanya melukai impian kami mempunyai legislatif yang lebih bersih tetapi juga membuat kami bertanya-tanya. Ada apa dengan Bawaslu?" kata koalisi masyarakat sipil dalam surat terbukanya, Jumat.
Koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih tersebut adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Kode Inisiatif, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), NETGRIT.
Pemuda Muhammadiyah, Banten Bersih, Rumah Kebangsaan, Madrasah Antikorupsi, Lingkar Madani (LIMA), Indonesia Budget Center (IBC), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (ANSIPOL) dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Koalisi masyarakat sipil mendesak Bawaslu RI untuk mengikuti Peraturan Komisi Pemilihan Umum no 20/2018 yang memastikan bahwa tidak ada mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba yang diloloskan sebagai calon anggota legislatif oleh KPU.
PKPU No 20/2018 merupakan peraturan yang sah dan mengikat, karena telah dimasukan dalam lembar negara. Peraturan tersebut hingga kini tidak melanggar UU, karena belum ada putusan yang menyatakan hal itu meski sejumlah pihak tengah mengajukan uji materi.
Pasal 76 ayat 1 UU no 7/2017 tentang Pemilu telah mengatur bahwa dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan UU pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Artinya, Bawaslu seharusnya tidak potong kompas dan menarik simpulan sendiri dikarenakan koreksi atas Peraturan KPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu. Sedangkan hingga saat ini, belum ada putusan MA yang menyebutkan Peraturan KPU bertentangan dengan UU.
"Putusan pengawas pemilu di enam daerah, yaitu Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba, terhadap sengketa pencalonan mantan napi korupsi secara terang benderang tidak menjadikan Peraturan KPU tentang Pencalonan sebagai rujukan," katanya.
Padahal, Peraturan KPU sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Bawaslu justru diamanatkan mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU, sebagaimana disebut dalam pasal 93 huruf l UU Pemilu.
"Pun demikian, masih besar harapan kami untuk Bawaslu RI segera menjalankan kewenangannya meluruskan kekeliruan dengan mengoreksi dan memberikan rekomendasi putusan Bawaslu daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 huruf h UU Pemilu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018