Pemilihan Umum pada April 2019 seharusnya memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, kota, dan kabupaten, serta pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Peristiwa yang baru pertama kali akan diselenggarakan itu, rasanya tereliminasi hanya pada pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Meski Komisi Pemilihan Umum belum menetapkan pasangan calon yang akan berlaga, di dunia maya, dunia media, bahkan dunia nyata, hiruk pikuk para pendukung pasangan calon (meski seolah disamarkan) makin nyata, bahkan cenderung makin panas.
Beberapa penolakan masyarakat tertentu serta tidak diizinkannya kegiatan pengumpulan serta pengerahan massa terkait dengan tagar tertentu, atau pun mendatangkan tokoh tertentu oleh aparat, tak urung menimbulkan perdebatan baik yang setuju maupun yang menolak, yang terekspose di berbagai media, utamanya di media sosial (medsos), bahkan meski kecil, sering terlihat juga adanya perdebatan antaranggota masyarakat.
Tuduhan terhadap ketidaknetralan aparat pun mulai pula ditiupkan kelompok yang merasa dirugikan, dan sebaliknya tentu didukung oleh mereka yang merasa diuntungkan.
Penundaan tayangan debat di sebuah stasiun televisi pun, bagi yang merasa dirugikan, dituduhkan sebagai persekusi yang mengabaikan kebebasan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Berbagai perdebatan yang marak di berbagai media yang dilakukan oleh kalangan menengah ke atas tersebut, tampaknya sangat berbeda dengan kenyataan yang tampak di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat akar rumput tampak dengan tenangnya menjalankan aktivitas sehari-hari, seolah tanpa peduli dengan hiruk pikuk yang terjadi di berbagai media, yang mungkin sebagian juga mereka baca, dengar serta saksikan.
Mereka yang sedang merayakan peringatan ke-73 kemerdekaan Republik Indonesia pun terlihat di berbagai media melakukannya dengan riang gembira.
Mereka yang punya hajat pribadi pun juga selalu dipenuhi tamu-tamu yang mereka undang dalam suasana yang riang gembira.
Kepedulian masyarakat terhadap bencana di Lombok khususnya serta Nusa Tenggara Barat umumnya juga sangat tinggi, seolah meniadakan sekat perbedaan pilihan mereka.
Bahkan, tatkala ada politikus yang mengaitkan bencana Lonbok dengan sikap gubernurnya yang mendukung calon presiden tertentu, berbagai kecaman pun mereka terima bak air bah.
Yang sangat menggembirakan, ternyata momentum Asian Games yang dianggap sukses penyelenggaraan serta sukses target, seakan mempersatukan seluruh rakyat Indonesia di tengah kebhinnekaan bahkan perbedaan pilihan.
Terlebih tatkala seorang peraih medali emas cabang pencak silat, naik ke atas panggung, merangkul Presiden Jokowi dan Prabowo yang oleh media dikesankan sebagai rival, bahkan seteru, dengan menggunakan bendera Merah Putih, suasana menjadi sangat cair, dan yang tampak hanyalah persahabatan serta kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Itulah contoh nyata yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa, dengan memberikan teladan kepada rakyatnya. Peristiwa itu pun nyaris sepi dari sikap nyinyir kalangan tertentu. Yang bila ini dikaitkan dengan teori komunikasi spiral keheningan (spiral of silence), kalangan minoritas yang nyinyir sikapnya seolah tergencet oleh opini mayoritas yang positif. Mereka paham, bahwa akan babak belur, seandainya mereka nekat mempertontonkan sikap nyinyir.
Pertanyaannya, mungkinkah peristiwa langka tersebut akan digunakan para elite sebagai pijakan menjalankan pemilu serentak secara damai, menghindarkan isu SARA, politik identitas, bahkan asumsi yang menyesatkan, sehingga rakyat akan terdidik secara politik, dan pemilu menjadi bermartabat?
Atau mereka akan tetap menjalankan cara apa pun untuk menang sehingga mereka sekadar menyampaikan jargon tanpa makna, terkait dengan kepentingan bangsa dan negara?
Tidak takutkah mereka yang mungkin akan nekat tersebut dengan kondisi rakyat yang makin cerdas?
Kebebasan
Sebagian elite sering berdalih, bahwa karena KPU belum menetapkan serta mengesahkan jadwal kampanye, maka apa yang mereka lakukan, misalnya dengan mengumpulkan massa dengan yel-yel tertentu, dan sebagainya bukanlah kampanye, melainkan kebebasan menyampaikan pendapat.
Mereka memang tidak salah, karena pengertian kampanye berdasarkan Undang-Undang Pemilu baru ada setelah calon ditetapkan, jadwal kampanye disahkan, dan di dalam kegiatan itu berisi antara lain ajakan untuk memilih calon tertentu, serta dilakukan oleh calon, parpol pendukung, atau pun tim sukses yang terdaftar di KPU.
Padahal pengertian kampanye itu dimulai ketika ada sosialisasi, baik dengan pasang gambar, memberi bantuan dengan gambar terselubung, dan yang lainnya, selama orang atau kelompok orang baik melalui media atau tidak tiba-tiba memperkenalkan figur atau pasangan figur tertentu.
Dengan pengertian ini, maka dua pasangan capres-cawapres yang telah dideklarasikan atau pun para calon legislatif serta eksekutif lainnya telah dianggap melakukan kampanye, sedangkan tujuan kampanye itu jelas, yaitu meraih simpati calon pemilih, agar kelak memilihnya.
Dalam bahasa iklan ada yang menganut teori positioning atau menggabungkan teori tersebut dengan memanfaatkan consumers insight (kenginan riil) dari calon pemilihnya, untuk bisa meraih simpati mereka.
Dengan mengacu pada teori iklan tersebut, maka alangkah indahnya bila masing-masing kontestan berusaha memahami kebutuhan riil calon pemilih, dan bukan kebutuhan calon pemilih menurut persepsi mereka masing-masing.
Berdasarkan kebutuhan dalam persepsi masing-masing (percieved needs), mereka itulah yang tampaknya melahirkan setidaknya dua tagar yang bertentangan dengan membuat suasana menjadi panas. Ini sangat bertentangan dengan yang meraka nyatakan selama ini bahwa mereka ingin pemilu damai.
Yang perlu mereka perhitungkan dan sering disampaikan di berbagai media, sebaiknya ajang kompetisi ini jangan diubah menjadi ajang perang, sehingga digunakanlah bahasa-bahasa perang, ayat-ayat perang, dan sebagainya.
Dalam kondisi masyarakat yang makin cerdas karena akses terhadap media serta paran cerdik pandai makin mudah, masyarakat akan dengan mudahnya mencari informasi pembanding, karena prinsip informasi yang informatif akan menghilangkan kebingungan serta ketidakjelasan.
Masyarakat yang menjadi cerdas tersebut pada akhirnya akan mudah menilai mana pernyataan yang mereka anggap cocok dengan kepentingan mereka.
Akhirnya, semuanya dikembalikan kepada para calon pemilih, karena pada akhirnya yang akan mereka pilih adalah calon yang mereka anggap mampu melayani mereka, bekerja dengan sepenuh hati, serta tidak melakukan kegiatan yang tidak bermartabat dan kontraproduktif.
*) Penulis adalah Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
Peristiwa yang baru pertama kali akan diselenggarakan itu, rasanya tereliminasi hanya pada pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Meski Komisi Pemilihan Umum belum menetapkan pasangan calon yang akan berlaga, di dunia maya, dunia media, bahkan dunia nyata, hiruk pikuk para pendukung pasangan calon (meski seolah disamarkan) makin nyata, bahkan cenderung makin panas.
Beberapa penolakan masyarakat tertentu serta tidak diizinkannya kegiatan pengumpulan serta pengerahan massa terkait dengan tagar tertentu, atau pun mendatangkan tokoh tertentu oleh aparat, tak urung menimbulkan perdebatan baik yang setuju maupun yang menolak, yang terekspose di berbagai media, utamanya di media sosial (medsos), bahkan meski kecil, sering terlihat juga adanya perdebatan antaranggota masyarakat.
Tuduhan terhadap ketidaknetralan aparat pun mulai pula ditiupkan kelompok yang merasa dirugikan, dan sebaliknya tentu didukung oleh mereka yang merasa diuntungkan.
Penundaan tayangan debat di sebuah stasiun televisi pun, bagi yang merasa dirugikan, dituduhkan sebagai persekusi yang mengabaikan kebebasan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Berbagai perdebatan yang marak di berbagai media yang dilakukan oleh kalangan menengah ke atas tersebut, tampaknya sangat berbeda dengan kenyataan yang tampak di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat akar rumput tampak dengan tenangnya menjalankan aktivitas sehari-hari, seolah tanpa peduli dengan hiruk pikuk yang terjadi di berbagai media, yang mungkin sebagian juga mereka baca, dengar serta saksikan.
Mereka yang sedang merayakan peringatan ke-73 kemerdekaan Republik Indonesia pun terlihat di berbagai media melakukannya dengan riang gembira.
Mereka yang punya hajat pribadi pun juga selalu dipenuhi tamu-tamu yang mereka undang dalam suasana yang riang gembira.
Kepedulian masyarakat terhadap bencana di Lombok khususnya serta Nusa Tenggara Barat umumnya juga sangat tinggi, seolah meniadakan sekat perbedaan pilihan mereka.
Bahkan, tatkala ada politikus yang mengaitkan bencana Lonbok dengan sikap gubernurnya yang mendukung calon presiden tertentu, berbagai kecaman pun mereka terima bak air bah.
Yang sangat menggembirakan, ternyata momentum Asian Games yang dianggap sukses penyelenggaraan serta sukses target, seakan mempersatukan seluruh rakyat Indonesia di tengah kebhinnekaan bahkan perbedaan pilihan.
Terlebih tatkala seorang peraih medali emas cabang pencak silat, naik ke atas panggung, merangkul Presiden Jokowi dan Prabowo yang oleh media dikesankan sebagai rival, bahkan seteru, dengan menggunakan bendera Merah Putih, suasana menjadi sangat cair, dan yang tampak hanyalah persahabatan serta kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Itulah contoh nyata yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa, dengan memberikan teladan kepada rakyatnya. Peristiwa itu pun nyaris sepi dari sikap nyinyir kalangan tertentu. Yang bila ini dikaitkan dengan teori komunikasi spiral keheningan (spiral of silence), kalangan minoritas yang nyinyir sikapnya seolah tergencet oleh opini mayoritas yang positif. Mereka paham, bahwa akan babak belur, seandainya mereka nekat mempertontonkan sikap nyinyir.
Pertanyaannya, mungkinkah peristiwa langka tersebut akan digunakan para elite sebagai pijakan menjalankan pemilu serentak secara damai, menghindarkan isu SARA, politik identitas, bahkan asumsi yang menyesatkan, sehingga rakyat akan terdidik secara politik, dan pemilu menjadi bermartabat?
Atau mereka akan tetap menjalankan cara apa pun untuk menang sehingga mereka sekadar menyampaikan jargon tanpa makna, terkait dengan kepentingan bangsa dan negara?
Tidak takutkah mereka yang mungkin akan nekat tersebut dengan kondisi rakyat yang makin cerdas?
Kebebasan
Sebagian elite sering berdalih, bahwa karena KPU belum menetapkan serta mengesahkan jadwal kampanye, maka apa yang mereka lakukan, misalnya dengan mengumpulkan massa dengan yel-yel tertentu, dan sebagainya bukanlah kampanye, melainkan kebebasan menyampaikan pendapat.
Mereka memang tidak salah, karena pengertian kampanye berdasarkan Undang-Undang Pemilu baru ada setelah calon ditetapkan, jadwal kampanye disahkan, dan di dalam kegiatan itu berisi antara lain ajakan untuk memilih calon tertentu, serta dilakukan oleh calon, parpol pendukung, atau pun tim sukses yang terdaftar di KPU.
Padahal pengertian kampanye itu dimulai ketika ada sosialisasi, baik dengan pasang gambar, memberi bantuan dengan gambar terselubung, dan yang lainnya, selama orang atau kelompok orang baik melalui media atau tidak tiba-tiba memperkenalkan figur atau pasangan figur tertentu.
Dengan pengertian ini, maka dua pasangan capres-cawapres yang telah dideklarasikan atau pun para calon legislatif serta eksekutif lainnya telah dianggap melakukan kampanye, sedangkan tujuan kampanye itu jelas, yaitu meraih simpati calon pemilih, agar kelak memilihnya.
Dalam bahasa iklan ada yang menganut teori positioning atau menggabungkan teori tersebut dengan memanfaatkan consumers insight (kenginan riil) dari calon pemilihnya, untuk bisa meraih simpati mereka.
Dengan mengacu pada teori iklan tersebut, maka alangkah indahnya bila masing-masing kontestan berusaha memahami kebutuhan riil calon pemilih, dan bukan kebutuhan calon pemilih menurut persepsi mereka masing-masing.
Berdasarkan kebutuhan dalam persepsi masing-masing (percieved needs), mereka itulah yang tampaknya melahirkan setidaknya dua tagar yang bertentangan dengan membuat suasana menjadi panas. Ini sangat bertentangan dengan yang meraka nyatakan selama ini bahwa mereka ingin pemilu damai.
Yang perlu mereka perhitungkan dan sering disampaikan di berbagai media, sebaiknya ajang kompetisi ini jangan diubah menjadi ajang perang, sehingga digunakanlah bahasa-bahasa perang, ayat-ayat perang, dan sebagainya.
Dalam kondisi masyarakat yang makin cerdas karena akses terhadap media serta paran cerdik pandai makin mudah, masyarakat akan dengan mudahnya mencari informasi pembanding, karena prinsip informasi yang informatif akan menghilangkan kebingungan serta ketidakjelasan.
Masyarakat yang menjadi cerdas tersebut pada akhirnya akan mudah menilai mana pernyataan yang mereka anggap cocok dengan kepentingan mereka.
Akhirnya, semuanya dikembalikan kepada para calon pemilih, karena pada akhirnya yang akan mereka pilih adalah calon yang mereka anggap mampu melayani mereka, bekerja dengan sepenuh hati, serta tidak melakukan kegiatan yang tidak bermartabat dan kontraproduktif.
*) Penulis adalah Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018