Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Universitas Sumatera Utara (USU) diharapkan mengawal dan mengerahkan ilmuwan terbaiknya untuk memberikan masukan pada pembangunan PLTA di daerahnya dengan komitmen menjaga kelestarian lingkungan dan merawat keanekaragaman hayati.
"Universitas ini tempatnya orang-orang pintar jadi memang harus berkontribusi," kata Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR RI, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, Gus menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) antara pelaksana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batangtoru, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dengan USU, dan Pemkab Tapanuli Selatan di Gedung Rektorat USU, Medan, Senin pagi (10/9).
Nota itu ditandatangani Rektor USU Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Direktur NSHE Sarimudin Siregar, dan Bupati Tapanuli Selatan H Syahrul M Pasaribu SH. Nota kesepahaman ini dinilai strategis dalam mendukung percepatan penyelesaikan PLTA Batangtoru pada 2022 tanpa mengabaikan pelestarian lingkungan.
Percepatan itu diperlukan Sumatera Utara karena bisa menghemat APBN hingga Rp6 triliun per tahun, ramah lingkungan dan solusi untuk mengatasi krisis listrik di Sumatera.
Kini listrik Sumut dalam kondisi surplus 169 MW, kata Gus, tetapi hanya bersifat sementara. Sumut akan kembali krisis listrik bila kontrak dengan Marine Vessel Power Plant (MVPP), sebuah kapal pembangkit listrik dari Turki, tidak diperpanjang pada 2022.
Dia memahami latar belakang keberadaan kapal yang menyalurkan listrik 240 MW itu karena turut mendorong pemerintah mendatangkannya ke Belawan.
Dirut PLN sempat menentang dengan alasan terlalu mahal. Kapal itu juga menggunakan batu bara yang tidak ramah lingkungan.
"Jadi PLTA Batangtoru ini memang proyek paling strategis karena menggunakan tenaga air, paling ramah lingkungan," ujar Gus.
USU akan mengirim ahli hukum, kehutanan dan ahli lingkungan ke proyek PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkapasitas 510 MW itu. "Paling lambat minggu depan," kata Rektor USU Prof. Dr. Runtung, usai penandatanganan.
Mengancam Biodiversiti
Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menggugat izin lingkungan untuk pembangunan PLTA Batangtoru karena dinilai berdampak lingkungan, yakni terancamnya ekosistem yang kaya biodiversitas, diantaranya 800 orang utan dan dinilai rimba terakhir di Sumatera Utara.
Runtung menyadari proyek yang sedang tahap pengerjaan ini terus mendapat kritikan dari sejumlah aktivis dan akademisi.
"Kritikan itu tidak didukung fakta. Ada perubahan makna hutan setelah Undang-undang No.41/1999 tidak utuh lagi setelah ada putusan perubahan MA," ujar Runtung.
Bupati Syahrul menyatakan lokasi PLTA Batangtoru tidak menyinggung hutan. "Ada sebagian orang bicara ke media internasional kalau PLTA Batangtoru ini sangat berbahaya, mengancam keberadaan orangutan dan merusak lingkungan. Padahal proyek ini sama sekali tidak berada di kawasan hutan," ujarnya.
PLTA Batangtoru termasuk Infrastruktur Strategis Ketenagalistrikan Nasional sebagai bagian dari Program 35.000 Mega Watt (MW).
NSHE menggunakan teknologi yang didesain irit lahan, yakni memanfaatkan badan sungai seluas 24 Hektare dan lahan tambahan di lereng yang sangat curam seluas 66 Ha sebagai kolam harian untuk menampung air. Air kolam harian akan dicurahkan melalui terowong bawah tanah menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 510 MW.
Dari izin lokasi seluas 6.500 Ha yang diberikan untuk survei dan studi lapangan, PLTA Batangtoru hanya memerlukan 122 Hektar untuk tapak bangunan dan genangan air. Berdasarkan kajian itu, PLTA Batang Toru membebaskan lahan seluas 650 Hektar dan hanya akan membuka lahan sesuai keperluan fasilitas yang dibutuhkan.
Sementara, Waduk Jatiluhur di Jabar membutuhkan lahan penampung air seluas 8.300 Ha untuk membangkitkan tenaga listrik berkapasitas 158 MW.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
"Universitas ini tempatnya orang-orang pintar jadi memang harus berkontribusi," kata Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR RI, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, Gus menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) antara pelaksana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batangtoru, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dengan USU, dan Pemkab Tapanuli Selatan di Gedung Rektorat USU, Medan, Senin pagi (10/9).
Nota itu ditandatangani Rektor USU Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Direktur NSHE Sarimudin Siregar, dan Bupati Tapanuli Selatan H Syahrul M Pasaribu SH. Nota kesepahaman ini dinilai strategis dalam mendukung percepatan penyelesaikan PLTA Batangtoru pada 2022 tanpa mengabaikan pelestarian lingkungan.
Percepatan itu diperlukan Sumatera Utara karena bisa menghemat APBN hingga Rp6 triliun per tahun, ramah lingkungan dan solusi untuk mengatasi krisis listrik di Sumatera.
Kini listrik Sumut dalam kondisi surplus 169 MW, kata Gus, tetapi hanya bersifat sementara. Sumut akan kembali krisis listrik bila kontrak dengan Marine Vessel Power Plant (MVPP), sebuah kapal pembangkit listrik dari Turki, tidak diperpanjang pada 2022.
Dia memahami latar belakang keberadaan kapal yang menyalurkan listrik 240 MW itu karena turut mendorong pemerintah mendatangkannya ke Belawan.
Dirut PLN sempat menentang dengan alasan terlalu mahal. Kapal itu juga menggunakan batu bara yang tidak ramah lingkungan.
"Jadi PLTA Batangtoru ini memang proyek paling strategis karena menggunakan tenaga air, paling ramah lingkungan," ujar Gus.
USU akan mengirim ahli hukum, kehutanan dan ahli lingkungan ke proyek PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkapasitas 510 MW itu. "Paling lambat minggu depan," kata Rektor USU Prof. Dr. Runtung, usai penandatanganan.
Mengancam Biodiversiti
Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menggugat izin lingkungan untuk pembangunan PLTA Batangtoru karena dinilai berdampak lingkungan, yakni terancamnya ekosistem yang kaya biodiversitas, diantaranya 800 orang utan dan dinilai rimba terakhir di Sumatera Utara.
Runtung menyadari proyek yang sedang tahap pengerjaan ini terus mendapat kritikan dari sejumlah aktivis dan akademisi.
"Kritikan itu tidak didukung fakta. Ada perubahan makna hutan setelah Undang-undang No.41/1999 tidak utuh lagi setelah ada putusan perubahan MA," ujar Runtung.
Bupati Syahrul menyatakan lokasi PLTA Batangtoru tidak menyinggung hutan. "Ada sebagian orang bicara ke media internasional kalau PLTA Batangtoru ini sangat berbahaya, mengancam keberadaan orangutan dan merusak lingkungan. Padahal proyek ini sama sekali tidak berada di kawasan hutan," ujarnya.
PLTA Batangtoru termasuk Infrastruktur Strategis Ketenagalistrikan Nasional sebagai bagian dari Program 35.000 Mega Watt (MW).
NSHE menggunakan teknologi yang didesain irit lahan, yakni memanfaatkan badan sungai seluas 24 Hektare dan lahan tambahan di lereng yang sangat curam seluas 66 Ha sebagai kolam harian untuk menampung air. Air kolam harian akan dicurahkan melalui terowong bawah tanah menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 510 MW.
Dari izin lokasi seluas 6.500 Ha yang diberikan untuk survei dan studi lapangan, PLTA Batangtoru hanya memerlukan 122 Hektar untuk tapak bangunan dan genangan air. Berdasarkan kajian itu, PLTA Batang Toru membebaskan lahan seluas 650 Hektar dan hanya akan membuka lahan sesuai keperluan fasilitas yang dibutuhkan.
Sementara, Waduk Jatiluhur di Jabar membutuhkan lahan penampung air seluas 8.300 Ha untuk membangkitkan tenaga listrik berkapasitas 158 MW.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018