Proses pemulangan atau repatriasi para warga negara Indonesia (WNI) simpatisan ISIS dari Suriah memerlukan penilaian yang ketat terhadap masing-masing individu sebagai tindakan pencegahan terhadap ancaman teror di dalam negeri.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo dalam seminar bertajuk "Bicara Terorisme: Tantangan dan Solusi Pemulangan Simpatisan ISIS" yang diadakan oleh lembaga penelitian The Habibie Center di Jakarta, Jumat.
Menurut Agung, penilaian terhadap WNI simpatisan ISIS itu harus dilakukan untuk melihat kadar paparan paham radikalisme pada masing-masing orang sehingga dapat ditangani melalui program rehabilitasi dan deradikalisasi dari pemerintah Indonesia.
"Harus ada penanganan serius terhadap WNI eks ISIS sebagai mitigasi. Repatriasi terhadap para simpatisan ISIS tersebut harus dilakukan dengan adanya proses penilaian yang ketat," ujar dia.
"Polri juga menyatakan pemulangan simpatisan ISIS tidak mudah dan membutuhkan asesmen (penilaian) secara ketat. Asesmen tersebut harus dilakukan untuk melihat seberapa jauh paparan radikalisme yang diterima," lanjutnya.
Agung lebih lanjut menjelaskan bahwa penilaian dan deradikalisasi perlu diterapkan terhadap para WNI simpatisan ISIS itu sebagai bentuk antisipasi atas ancaman teror yang mungkin dapat muncul di Indonesia pada masa depan.
Menurut dia, ancaman teror itu dapat dicegah dengan melihat potensi bahaya dari para simpatisan ISIS yang terkait dengan pengembangan sikap ekstrem sebagai dampak dari lingkungan sosial mereka di Suriah.
"Kita harus berkaca pada berakhirnya perang Afghanistan dan invasi AS di Irak yang memunculkan ragam bencana dan teror baru. Bahkan, perempuan dan anak-anak memiliki peran signifikan dalam penyebaran ideologi ISIS setelah merosotnya pengaruh ISIS sejak 2017," katanya.
Namun, Agung menambahkan, kewaspadaan dalam melaksanakan repatriasi WNI eks ISIS memang diperlukan, tetapi tidak menghilangkan kepentingan dari kepulangan mereka ke Indonesia.
"Dalam kondisi ini, pemulangan WNI eks ISIS merupakan hal yang perlu dilakukan dengan catatan diperlukan adanya proses "screening" sebagai langkah antisipatif," ujar dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo dalam seminar bertajuk "Bicara Terorisme: Tantangan dan Solusi Pemulangan Simpatisan ISIS" yang diadakan oleh lembaga penelitian The Habibie Center di Jakarta, Jumat.
Menurut Agung, penilaian terhadap WNI simpatisan ISIS itu harus dilakukan untuk melihat kadar paparan paham radikalisme pada masing-masing orang sehingga dapat ditangani melalui program rehabilitasi dan deradikalisasi dari pemerintah Indonesia.
"Harus ada penanganan serius terhadap WNI eks ISIS sebagai mitigasi. Repatriasi terhadap para simpatisan ISIS tersebut harus dilakukan dengan adanya proses penilaian yang ketat," ujar dia.
"Polri juga menyatakan pemulangan simpatisan ISIS tidak mudah dan membutuhkan asesmen (penilaian) secara ketat. Asesmen tersebut harus dilakukan untuk melihat seberapa jauh paparan radikalisme yang diterima," lanjutnya.
Agung lebih lanjut menjelaskan bahwa penilaian dan deradikalisasi perlu diterapkan terhadap para WNI simpatisan ISIS itu sebagai bentuk antisipasi atas ancaman teror yang mungkin dapat muncul di Indonesia pada masa depan.
Menurut dia, ancaman teror itu dapat dicegah dengan melihat potensi bahaya dari para simpatisan ISIS yang terkait dengan pengembangan sikap ekstrem sebagai dampak dari lingkungan sosial mereka di Suriah.
"Kita harus berkaca pada berakhirnya perang Afghanistan dan invasi AS di Irak yang memunculkan ragam bencana dan teror baru. Bahkan, perempuan dan anak-anak memiliki peran signifikan dalam penyebaran ideologi ISIS setelah merosotnya pengaruh ISIS sejak 2017," katanya.
Namun, Agung menambahkan, kewaspadaan dalam melaksanakan repatriasi WNI eks ISIS memang diperlukan, tetapi tidak menghilangkan kepentingan dari kepulangan mereka ke Indonesia.
"Dalam kondisi ini, pemulangan WNI eks ISIS merupakan hal yang perlu dilakukan dengan catatan diperlukan adanya proses "screening" sebagai langkah antisipatif," ujar dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019