Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai hak veto diperlukan oleh menteri koordinator (Menko) dalam rangka menjabarkan visi misi presiden.
"Hukum itu tergantung kesepakatan, kalau menteri koordinator diberikan hak veto itu kan biar ada visi yang sama. Jadi, tingkatan visi secara birokrasi adalah presiden, kemudian menteri koordinator," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Hibnu mengatakan hal itu kepada Antara terkait dengan pemberian hak veto kepada menteri koordinator oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut dia, salah satu tugas menteri koordinator adalah menjalankan visi misi presiden, sehingga ketika menteri-menteri itu tidak sependapat ataupun membuat kegiatan yang berbeda, menteri koordinatorlah yang bertanggung jawab.
"Menteri koordinator ini bisa meluruskan atau menolak program yang diajukan oleh menteri yang bersangkutan. Jadi arahnya ke sana. Namanya menko, mengoordinasikan, kalau misalkan menteri X menyimpang, apa fungsi koordinator," kata Hibnu yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed.
Oleh karena itu, kata dia, hak veto diperlukan bagi menteri koordinator karena fungsinya mengoordinasikan, sehingga semua program harus sepengetahuan koordinator.
"Nah, koordinator itu yang menjabarkan visi misi presiden sampai ke bawahnya. Jadi tidak masalah jika menteri koordinator memiliki hak veto karena hal itu untuk menyatukan visi misi yang sama, sehingga jangan sampai ada visi misi yang berbelok terlalu jauh sehingga dihentikan oleh menteri koordinator," tegas pakar hukum itu.
Dengan demikian, kata dia, ada sinergitas antarmenteri sehingga menteri-menterinya tidak jalan sendiri-sendiri.
Demikian pula dengan peraturan-peraturan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan kebijakan menteri lain maupun bertentangan dengan visi presiden harus diluruskan karena peraturan harus ada sinergitas.
"Jadi kalau ada peraturan yang tidak sinergi dengan peraturan induk, ya harus dikeluarkan. Ini lemahnya di kita, kenapa ada obesitas peraturan karena peraturan-peraturan itu tidak membuat sinergi yang cukup, terlalu banyak aturan tetapi induknya tidak jelas," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, hukum yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya, sehingga ada menteri koordinator.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
"Hukum itu tergantung kesepakatan, kalau menteri koordinator diberikan hak veto itu kan biar ada visi yang sama. Jadi, tingkatan visi secara birokrasi adalah presiden, kemudian menteri koordinator," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Hibnu mengatakan hal itu kepada Antara terkait dengan pemberian hak veto kepada menteri koordinator oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut dia, salah satu tugas menteri koordinator adalah menjalankan visi misi presiden, sehingga ketika menteri-menteri itu tidak sependapat ataupun membuat kegiatan yang berbeda, menteri koordinatorlah yang bertanggung jawab.
"Menteri koordinator ini bisa meluruskan atau menolak program yang diajukan oleh menteri yang bersangkutan. Jadi arahnya ke sana. Namanya menko, mengoordinasikan, kalau misalkan menteri X menyimpang, apa fungsi koordinator," kata Hibnu yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed.
Oleh karena itu, kata dia, hak veto diperlukan bagi menteri koordinator karena fungsinya mengoordinasikan, sehingga semua program harus sepengetahuan koordinator.
"Nah, koordinator itu yang menjabarkan visi misi presiden sampai ke bawahnya. Jadi tidak masalah jika menteri koordinator memiliki hak veto karena hal itu untuk menyatukan visi misi yang sama, sehingga jangan sampai ada visi misi yang berbelok terlalu jauh sehingga dihentikan oleh menteri koordinator," tegas pakar hukum itu.
Dengan demikian, kata dia, ada sinergitas antarmenteri sehingga menteri-menterinya tidak jalan sendiri-sendiri.
Demikian pula dengan peraturan-peraturan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan kebijakan menteri lain maupun bertentangan dengan visi presiden harus diluruskan karena peraturan harus ada sinergitas.
"Jadi kalau ada peraturan yang tidak sinergi dengan peraturan induk, ya harus dikeluarkan. Ini lemahnya di kita, kenapa ada obesitas peraturan karena peraturan-peraturan itu tidak membuat sinergi yang cukup, terlalu banyak aturan tetapi induknya tidak jelas," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, hukum yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya, sehingga ada menteri koordinator.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019