Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alamsyah Saragih mengatakan nilai nominal iuran BPJS Kesehatan belum diturunkan setelah terbit Putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020 akan berpotensi maladministrasi.
Hal itu disampaikan Alamsyah setelah mencermati dan menemukan bahwa pada penarikan iuran di bulan April 2020, BPJS Kesehatan masih menerapkan nilai nominal iuran berdasarkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang sudah dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan MA yang mengabulkan sebagian gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut.
"Ombudsman RI berpendapat bahwa penarikan iuran oleh BPJS Kesehatan dengan tetap menerapkan angka nominal yang mengacu pada ketentuan yang telah dibatalkan sebagaimana dijelaskan di atas berpotensi maladministrasi berupa perbuatan melawan hukum (pungutan ilegal)," ujar Alamsyah dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut aturan perundang-undangan, Ombudsman RI berwenang menyampaikan saran kepada Penyelenggara Pemerintahan di pusat dan daerah agar mengadakan perubahan terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam rangka mencegah maladministrasi.
Aturan itu terdapat di dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan itu, maka Ombudsman RI menyarankan:
1. Presiden segera membentuk Peraturan Presiden pengganti Perpres No. 75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan untuk mencegah terjadi kakacauan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
2. BPJS Kesehatan kembali melakukan penagihan dengan nilai nominal sebagaimana dinyatakan pada Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebelum Peraturan Presiden pengganti diterbitkan.
3. BPJS Kesehatan tetap memberikan pelayanan dan tidak mengenakan sanksi administratif apabila ada peserta yang menolak membayar iuran BPJS dengan nilai nominal yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tak lagi mengikat sampai dengan diterbitkannya Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud.
Sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mengatakan pihaknya belum membatalkan kenaikan iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Alasannya, karena BPJS Kesehatan masih menunggu pemerintah mengubah ketentuan dalam pasal 34 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 (Perpres 75/2019) atau Keputusan MA berlaku hingga 90 hari.
"BPJS Kesehatan dalam hal ini akan mengikuti ketentuan Peraturan Presiden (Pengganti) yang dikeluarkan atau (menunggu) hari ke-91 sejak Mahkamah Agung mengirimkan putusan kepada Presiden dan kuasa hukumnya yakni Kementerian Kesehatan dan/ atau Kementerian Hukum dan HAM," tulis akun Twitter @BPJSKesehatanRI, Senin (6/4/2020).
BPJS Kesehatan berdalih bahwa putusan MA baru berlaku setelah 90 hari berdasarkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 pasal 8 yang berbunyi:
"Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya (melaksanakan Putusan MA), demi hukum Peraturan Perundang-Undangan, yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum."
Atas dasar itu, BPJS Kesehatan belum melaksanakan putusan pembatalan kenaikan iuran oleh MA pada April.
Namun, apabila sebelum 90 hari pemerintah sudah mengubah ketentuan di dalam Perpres 75/2019, maka BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan pembayaran iuran peserta segmen PBPU atau mandiri tersebut.
"Dan akan dikembalikan (pengembalian atau sebagai saldo pembayaran bulan selanjutnya) segera setelah ada aturan baru tersebut atau disesuaikan dengan arahan dari pemerintah," tulis akun Twitter BPJS Kesehatan.