"Lima
belas tahun lalu saat tidak ada internet, sepertinya susah bekerja dari
Indonesia untuk Amerika," kata Ario Anindito, ilustrator asal Bandung
yang menjadi penciler untuk serial "Wolverine" keluaran Marvel sejak
2014.
Berkat Internet, lulusan arsitektur di
Universitas Parahyangan Jawa Barat itu bisa menembus penerbit komik
terkemuka yang telah mempopulerkan karakter ikonik seperti Spiderman dan
Fantastic Four.
Ario rajin mengunggah
gambar-gambar hasil goresan tangannya di dunia maya. Suatu hari,
datanglah sebuah surel dari agensi Italia yang tertarik dengan karyanya
dan mengajak Ario untuk bergabung.
"Agen itu
bertemu dengan pihak Marvel, kemudian saya disuruh bikin sampel untuk
dikasih ke Marvel," kata pemilik Stonefruit Studio itu.
Ario
disodori skrip komik "Guardians of Galaxy" sebanyak 20 halaman. Dari
narasi itu, seorang penciler harus menuangkannya ke dalam panel-panel
gambar.
"Saya pilih empat halaman, cari yang
banyak action, ternyata sampelnya disukai Marvel," Ario menuturkan awal
mulanya bekerja untuk penerbit yang berdiri sejak 1934 itu.
Pekerjaan
pertamanya dari Marvel adalah serial "Wolverine" pada 2014. Goresan
tangan Ario juga bisa dilihat dalam serial Secret Wars: Warzone "House
of M". Saat ini, ilustrator yang memiliki studio sendiri di Bandung itu
tengah mengerjakan karakter figurine Marvel skala 1:4 edisi terbatas
seperti Lady Sif dan Beta-Ray Bill.
Ario tak
perlu jauh-jauh terbang ke Amerika Serikat untuk mengerjakan tugasnya
sebagai penciler karena semua dokumen dikirim via surel.
Dia
biasanya mencetak skrip cerita sehingga bisa dibawa ke mana saja.
Ide-ide yang muncul dituangkan dalam coret-coretan. Sketsa tersebut
akan dituangkan menjadi panel-panel bergambar seperti yang akan terlihat
dalam komik. Semuanya dibuat secara manual menggunakan pensil.
"Lalu di-scan, diedit Photoshop (goresan gambar dipertajam) dan dikirim ke Marvel untuk approval," katanya.
Cara
manual dipertahankan Ario karena dirinya terbiasa menggambar dengan
pensil sejak kecil. Kelebihannya, dia bisa menyimpan gambar-gambar asli
dalam bentuk fisik karena yang dikirimkan kepada Marvel berbentuk
softcopy.
Seorang penciler biasanya diberi
tenggat waktu selama enam pekan oleh Marvel. Dia berusaha mengerjakan
setidaknya satu halaman dalam sehari.
"Kalau gambarnya ribet bisa lebih lama, kalau sederhana bisa lebih cepat," katanya.
Ada
kalanya Ario juga harus mengorbankan waktu tidur ketika tenggat
waktunya dipercepat akibat skrip yang terlambat datang, namun jadwal
terbit komik tidak dimundurkan.
Colorist
Jessica
Kholinne resmi bergabung menjadi comic book colorist Marvel setelah
karyanya di sebuah penerbit Amerika Serikat dilirik oleh editor komik
Marvel.
"Sejak 2009 saya kerja untuk publisher
US, ternyata editor Marvel tertarik sama hasil kerja saya," tutur
Jessica yang belajar Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti.
Sejak
itu, dia telah menghidupkan gambar-gambar di komik Marvel melalui
sentuhan warna dalam beberapa judul seperti "X-Treme X-Men", "Star-Lord
& Kitty Pride" serta "Guardians Team-Up".
Proses
mewarnai dikerjakan secara digital. Dia menjelaskan ada beberapa tahap
hingga gambar yang awalnya hitam putih berubah menjadi penuh warna. Yang
pertama adalah mengaplikasikan warna dasar. Kemudian, karakter dan
latar belakang diwarnai lebih detil. Jessica juga menambahkan bayangan
agar gambar terlihat lebih hidup. Terakhir, membubuhkan efek-efek
pamungkas seperti yang tertuang dalam skrip.
Jessica harus jeli menerjemahkan kalimat dalam skrip ke dalam warna agar hasilnya sesuai dengan yang diminta oleh penerbit.
"Kalau settingnya malam, jangan dibikin siang," kata dia.
Selama
ini dia diberi keleluasaan untuk berkarya, yang penting warna yang
dibubuhkan untuk karakter tidak menyimpang dari yang seharusnya.
Jessica biasa harus selesai mewarnai satu jilid komik yang berisi 20-an lembar dalam waktu dua pekan.
"Coloring minimal sehari dua halaman, tapi tergantung detil halamannya juga," jelasnya.
Direkrut pencari bakat
Penyelenggaraan
Comic Convention yang semakin menjamur membuka kesempatan besar bagi
penerbit komik untuk mencari bakat baru dari mana saja, begitu pula
sebaliknya.
Ajang portofolio review di Comic
Convention membuat para ilustrator bisa "menjual" karyanya tanpa harus
jauh-jauh melintasi benua lain.
"Dulu enggak ada Comic Con, sekarang di Indonesia setahun saja ada banyak," kata Jessica.
Maraknya
Comic Con dinilai Jessica sebagai tanda meningkatnya apresiasi untuk
para seniman komik yang dulu kerap dipandang sebelah mata.
Miralti
Firmansyah dan Rhoald Marcellius bergabung sebagai penciler dalam
keluarga besar penerbit Marvel lewat cara yang berbeda dari Ario.
Miralti
menyodorkan portofolio pada C.B Cebulski, penulis dan editor Marvel,
dalam sebuah comic convention pada 2014. Perempuan yang mempelajari
Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Bandung ini akhirnya
mendapatkan jawaban melalui surel setelah beberapa pekan berlalu.
Ilustrator
kelahiran Bandung itu diminta membuat sampel gambar dari skrip komik
yang sudah diterbitkan Marvel. Karyanya dinilai memuaskan dan Miralti
diminta mengerjakan "Star Lord & Kitty Pride" pada 2015. Saat ini,
dia sedang membuat ilustrasi "X-Men '92" yang baru.
"Kalau
saya tidak disuruh buat sampel, dihubungi editor dan langsung
direkrut," ujar Rhoald Marcellius yang juga direkrut C.B. Cebulski.
Pria
yang belajar Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti itu telah
menggambar untuk "Hulk" dan kini sedang membuat "Contest of Champions".