Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Wiluyo Kusdwiharto mengatakan dukungan dan sinkronisasi regulasi yang kuat dari pemerintah diperlukan untuk mempercepat pengembangan biomassa di dalam negeri.
"Sinkronisasi regulasi ini sangat penting. Beberapa kali kami menghadapi bahwa harga biomassa sudah ditetapkan oleh Kementerian ESDM, namun untuk implementasinya di PT PLN, kami masih harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar biaya ini dapat masuk dalam biaya operasional yang diperbolehkan," kata Wiluyo dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
Ia melanjutkan "hal ini lumayan menghambat kami beserta teman-teman pengembang biomassa dalam memanfaatkan biomassa".
Wiluyo yang juga Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN itu mengungkapkan perkembangan signifikan dalam pemanfaatan bioenergi nasional, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Saat ini, potensi Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) diproyeksikan mencapai 313 megawatt (MW), dengan sejumlah PLTBm telah beroperasi di beberapa daerah seperti di Deli Serdang, Ujung Batu, Pasir Mandoge, Arung Dalam, dan Sandai dengan total kapasitas 27 MW.
Wiluyo juga menjelaskan rencana peningkatan kapasitas PLTBm hingga 1 gigawatt (GW) dalam RUPTL mendatang.
Namun, ia juga menyoroti stagnasi program hutan tanaman energi (HTE), yang seharusnya bisa memanfaatkan lahan-lahan kosong di Indonesia.
"Program HTE ini rasanya jalan di tempat, padahal HTE ini sebenarnya memiliki potensi keberlanjutan yang lebih terukur dalam memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami tanaman energi," ujar Wiluyo.
Sementara, Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Trois Dilisusendi menjelaskan bahwa bioenergi merupakan sumber energi terbarukan yang paling lengkap.
Indonesia memiliki potensi besar bioenergi dari biomassa yang apabila dikonversi menjadi listrik setara dengan 56,97 GW. Pada akhir 2023, kontribusi bioenergi dalam bauran energi terbarukan mencapai 7,4 persen dari total 13,3 persen.
Trois juga menyampaikan pengembangan bioenergi dapat menjadi substitusi energi fosil di berbagai sektor, termasuk kelistrikan, transportasi, industri, dan rumah tangga.
"Pengembangan bioenergi nasional mencakup pemanfaatan bahan bakar nabati, pemanfaatan biomassa sebagai substitusi batu bara melalui co-firing di PLTU serta pemanfaatan sampah organik sebagai sumber energi," ujarnya.
Namun, beberapa tantangan masih dihadapi dalam pengembangan sektor biomassa seperti pengadaan bahan bakar biomassa (B3m) yang memenuhi skala keekonomian, biaya transportasi dan logistik serta pasokan biomassa yang berkelanjutan.
Selain itu, tantangan harga, ketersediaan bahan, dan penerapan standar teknis seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bahan bakar biomassa juga menjadi perhatian penting.
Sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Eddy Soeparno menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat harus disertai dengan pengembangan energi hijau.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi besar untuk memanfaatkan bioenergi dari kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, dan berbagai limbah pertanian lainnya.
Dalam upayanya, Indonesia telah menerapkan program B35 yang menggunakan 35 persen biodiesel dari minyak sawit. Namun, untuk mencapai keberlanjutan, Eddy menekankan pentingnya penerapan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam pengelolaan kelapa sawit guna meminimalisir dampak lingkungan.
Pemanfaatan minyak jelantah sebagai biodiesel juga menjadi solusi untuk mengurangi emisi CO2 hingga 80 persen dibandingkan dengan diesel konvensional.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: METI: Pengembangan biomassa perlu sinkronisasi regulasi pemerintah
METI: Pengembangan biomassa perlu sinkronisasi regulasi pemerintah
Jumat, 4 Oktober 2024 12:20 WIB