Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) - Di pinggiran pantai jalur selatan provinsi Gorontalo, Desa Molotabu kabupaten Bone Bolango berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT Tenaga Listrik Gorontalo (TLG) tampak terkesan megah.
Suara bising mesin keluar dari kawasan yang lebih dikenal sebagai PLTU Molotabu itu, sepintas membuat masyarakat disekitar percaya, bahwa salah satu pembangkit listrik harapan warga Gorontalo sudah beroperasi total setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama.
"Kelihatannya sudah beroperasi karena terlihat asap hitam yang keluar dari kawasan itu", ujar Sunaryo Dulanimo, salah satu warga bone pesisir sambil menutup hidungnya karena polusi asap yang dihasilkan PLTU itu.
Beroperasinya PLTU Molotabu dibenarkan oleh manager Perusahaan Listrik Negara (PLN) Priyo Nugroho yang mengatakan bahwa mitranya sudah mulai menyuplai listrik ke Kota Gorontalo, akan tetapi pengoperasian yang dimulai sejak Juli 2013 itu masih belum total, karena yang dioperasikan ternyata hanya berkapasitas 10,5 Megawatt saja, dari yang seharusnya 2 x 10 Megawatt.
"Kemungkinan bisa beroperasi maksimal dengan kapasitas 2 x 10 Megawatt pada Desember 2013", Ujar Priyo.
Manager Sumber Daya Manusia, Administrasi, serta Keuangan PT TLG, Bosco menjelaskan jika mengacu pada kontrak jual beli listrik, atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan PT PLN (Persero) yang ditandatangani pada Oktober 2007 silam, seharusnya PLTU Molotabu sudah beroperasi total dengan kapasitas 2 x 10 Megawatt pada Juni 2012.
Sejak awal, PT TLG optimis pengoperasian PLTU Molotabu bisa berjalan dengan maksimal di akhir tahun 2010 atau pertengahan 2011, namun hal itu tidak bisa terlaksana karena berbagai faktor penghambat yang membuat pembangunan instalasi, secara keselurahan berjalan tertatih tatih.
Tertatihnya pembangunan PLTU Molotabu, banyak disebabkan oleh persoalan non tekhnis yang datang baik dari masyarakat ataupun pemerintah. PT TLG baru bisa memulai pembangunan setelah menyelesaikan masalah cukup pelik, yakni persoalan pembebasan lahan yang harus dibayarkan kepada dua orang pemilik dan keduanya masing-masing memiliki sertifikat sah, prosesnya berjalan selama hampir 5 tahun sejak tahun 2005 hingga 2010. Belum lagi persoalan birokrasi yang menurut Bosco, banyak aparat pemerintahan tidak memahami hal penting terkait investasi kelistrikan.
" Seharusnya kita sebagai investor dibantu untuk mempercepat pengoperasian PLTU, namun karena ketidaktahuan mereka dan bersikap sok tahu jadinya malah menghambat," Kata Bosco seraya menambahkan untuk pengurusan berbagai izin atau surat penting saja, waktu PT TLG banyak terbuang hanya karena ketidaktahuan pemerintah.
" Pernah kita tanya, kalau untuk mengurus surat analisis dampak lingkungan, apa saja yang harus dipenuhi, mereka tidak mampu jawab, masih harus menelfon entah kepada siapa, akhirnya kita disuruh balik besoknya lagi, seterusnya begitu," Kenang Bosco.
RETRIBUSI, KEBIJAKAN PROVINSI VS KABUPATEN
Beroperasinya PLTU Molotabu, meski tenaga listrik yang dihasilkan baru sebesar 10, 5 Megawatt, lantas tidak membuat mereka lepas dari masalah, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango sebagai penguasa wilayah tempat usaha PT TLG, masih tetap menagih retribusi galian c kepada perusahaan milik Sandiaga Uno itu.
" Silahkan beroperasi , tapi kewajiban untuk membayar retribusi harus tetap dipenuhi," Kata Bupati Bone Bolango Hamim Pou menanggapi pengoperasian PLTU Molotabu.
Menurut Hamim, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango sangat mendukung masuknya investasi ke wilayah mereka namun dengan syarat tidak melupakan kewajiban untuk daerah. Terkait retribusi galian c, pada akhir tahun 2012 silam pihak pemerintah Kabupaten Bone Bolango dan PT TLG telah melakukan pembicaraan, kemudian sama-sama menyepakati pembayaran yang harus dipenuhi untuk retribusi galian c adalah sebesar 500 juta rupiah, dari jumlah yang ditetapkan sebelumnya sebanyak 700 juta rupiah.
" Dari tahun kemarin mereka berjanji akan membayar, tapi hingga saat ini hal itu belum dipenuhi, padahal kita sudah kasih potongan harga," Ujar Hamim.
Pernyataan Hamim di dukung oleh Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kabupaten Bone Bolango Sulistiono Dalman dengan menjelaskan penggunaan galian c yang di peruntukan bagi kepentingan apapun tetap dikenakan retribusi.
Berdasarkan hasil perthitungan mereka, galian c yang digunakan oleh PT TLG dikenakan retribusi sebesar Rp736 juta, namun pada saat pembicaraan antar kedua belah pihak diakhir tahun 2012, PT TLG meminta keringanan.
" Bupati berhak melakukan pengurangan retribusi, sehingga beliau memutuskan dari 736 juta rupiah dikurangi menjadi 500 juta rupiah," Ungkap Sulistino.
Pasca pembicaraan tersebut kata Sulistiono, pihak PT TLG mengirimkan perwakilan untuk menemui dirinya dengan menawarkan uang sebesar Rp100 juta, namun uang tersebut ditolaknya.
" Saya langsung memberitahukan hal ini ke bupati, dan tidak ada yang berani menerima uang 100 juta rupiah itu, karena jika kita terima maka sama saja kita melakukan korupsi," Kata Sulistiono dengan tegas.
Menurut Sulistiono, galian c adalah bahan tambang yang sering digunakan untuk pembangunan infrastruktur, berdasarkan peraturan daerah mengenai retribusi dan melalui kebijakan bupati bone bolango maka tarif mengenai bahan-bahan tersebut adalah pasir dikenakan Rp4500 per kubik, batu Rp5000 per kubik, sirtu Rp2500 per kubik dan kerikil Rp4500 per kubik.
Dalam setiap penggunaan dalam skala besar, Dinas Kehutanan Dan Pertambangan Energi Kabupaten Bone Bolango bertugas untuk menghitung semua penggunaan galian c oleh pengguna atau perusahaan, selanjutnya hasil perhitungan akan direkomendasikan ke pihak pelayanan satu atap.
" Demikian juga untuk penentuan harga galian c yang digunakan oleh PLTU Molotabu," Ujar Sulistiono.
Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango masih terus melakukan penagihan dengan rutin mengirimkan surat ke PT TLG.
Sementara itu, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bone Bolango Yakub Tangahu mengomentari polemik galian c tersebut dengan menyebutkan bahwa seharusnya sebelum PLTU Molotabu beroperasi, persoalan dengan pemerintah daerah setempat sudah harus selesai.
Pihaknya juga sudah tiga kali mengundang pihak PT TLG, dalam agenda dengar pendapat di gedung DPRD Kabupaten Bone Bolango dan meminta mereka untuk segera menyelesaikan pembayaran galian c.
Berbeda dengan Yakub, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bone Bolango, Nandjaya Hulopi menegaskan bahwa sikap PT TLG yang tidak mau membayar retribusi galian c sudah benar, sebab mereka hanya memanfaatkan tanah, ataupun pasir dikawasan PLTU Molotabu.
"Apa yang harus mereka bayar, sementara itu adalah tanah mereka sendiri," Ungkap Nandjaya.
Perkataan Nandjaya, senada dengan penjelasan Bosco, dia menyebutkan bahwa kebijakan soal retribusi galian c, merupakan salah satu bukti ketidaktahuan pemerintah Kabupaten Bone Bolango yang bisa menghambat berkembangnya investasi, dan hal itu juga merupakan salah satu penyebab langkah pengoperasian PLTU menjadi lamban.
Menurut pemahaman Bosco, retribusi galian c bisa dibayar jika dimanfaatkan untuk komersialisasi, sementara mereka tidak melakukan hal itu.
"Kita hanya melakukan cut and fill, tanah yang ada di satu bagian kita pindah ke lokasi yang masih di dalam kawasan PLTU," Jelas Bosco.
Selain bersikeras untuk tidak akan membayar retribusi galian c, Bosco juga membantah bahwa pihaknya telah menawarkan uang sebesar 100 juta rupiah kepada Sulistiono Dalman dan terhadap polemik itu, mereka merasa tidak dibantu oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo yang seharusnya menengahi persoalan tersebut.
Menanggapi pernyataan Bosco, Kepala Badan Investasi Daerah (BID) Provinsi Gorontalo, Fachrudin Olilingo mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Gorontalo telah memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kemudahan penanaman modal, di Provinsi Gorontalo.
" Inti dari perda ini adalah zero retribusi, atau penghapusan retribusi bagi para investor yang masuk ke daerah Provinsi Gorontalo," Kata Fachrudin lalu menambahkan bahwa persoalan retribusi galian c antara PT TLG dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, sudah diketahui oleh pemerintah Provinsi Gorontalo, namun pihaknya tidak bisa berbuat banyak.
Fachrudin mengungkapkan, dengan mengacu pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004, hak wewenang, kewajiban daerah otonom untuk mengatur, mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-udangan.
Dengan memperhatikan undang-undang tentang pemerintahan daerah itu, maka pihaknya hanya bisa melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, terkait persoalan yang dihadapi oleh PT TLG.
" Kita sudah tanyakan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Bone Bolango mengenai masalah ini, namun mereka menjawab bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku," Ujar Fachrudin.
Menyambung penjelasan Fachrudin, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bone Bolango Fredy Ahmad menjelaskan, bahwa Pemerintah Kabupaten Bone Bolango memiliki aturan sendiri terkait investasi, yakni perda nomor 9 Tahun 2012.
Namun untuk persoalan galian c dengan PT TLG, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango menggunakan Perda nomor 8 Tahun 2011 tentang retribusi.
" PT TLG tetap harus membayar retribusi galian C sesuai dengan kesepakatan," terang Fredy.
Fredy mengatakan, pemerintah Provinsi Gorontalo hanya berhak melakukan koordinasi ataupun sinkronisasi dan tidak bisa mengintervensi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Kabupaten Bone Bolango.
HAMBATAN LAINNYA
Suatu ketika manager PLN Gorontalo, Priyo Nugroho bercerita bahwa selama ini pihaknya memiliki 9 unit mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berkapasitas 25 Megawatt, dan karena sudah ada pasokan listrik dari PLTU Molotabu maka 7 diantaranya diistirahatkan, sehingga kapasitas yang ada hanya 14 Megawat dibantu oleh mesin sewa. Sementara itu, beban puncak di Gorontalo bisa mencapai sebesar 60 sampai 65 Megawatt, dan mesin sewalah yang menguasai pelistrikan dengan kapasitas hingg 40 Megawatt, ini berarti Gorontalo masih mengalaimi defisit listrik sebanyak 20 Megawatt.
Kebutuhan listrik itulah coba diberikan oleh PT TLG, namun sepertinya usaha mereka dalam membangun PLTU Molotabu tidak berjalan mulus sesuai harapan.
Hal itu ungkapkan Bosco dengan merinci setiap hambatan yang membuat konsentrasi mereka terbagi, saat harus mengejar target pembangunan PTLU Molotabu sejak Tahun 2005 silam.
Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal ini Gubernur Rusli Habibie, yang seharusnya memberikan kemudahan ataupun mengayomi mereka sebagai investor, justru dinilai ikut mengambil keuntungan dengan meminta uang sebesar seratus juta rupiah, ketika dimintai untuk menandatangani izin penetapan lokasi pembangunan.
" Awalnya kita beri 50 juta rupiah, tapi ditolak," tutur Bosco
Belum lagi, pihak Kepolisian Resort Bone Bolango yang saat itu dipimpin oleh AKBP Fitrizal Sila, meminta PT TLG untuk memberikan fee keamanan di ikuti bawahannya Kapolsek Kabila Bone Iptu Awaludin. Untuk pembayaran yang tidak resmi itu PT TLG menghabiskan uang sebanyak 30 Juta Rupiah per bulan.
Berada di wilayah pesisir pantai, membuat pihak PT TLG harus mendapatkan pasokan air tawar yang bersih dan oleh karena itu menurut Bosco, mereka mengadakan kerja sama dengan Nandjaya Hulopi dengan nilai kontrak 30 Juta Rupiah pertahun.
" Tapi dia juga meminta gaji bulanan 3, 5 juta perbulan," Ujar Bosco.
Selain itu juga, PT TLG harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk memenuhi permintaan Panitia Khusus (PANSUS) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Bone Bolango, sebanyak 175 juta rupiah yang menurut pembagiannya 75 juta rupiah untuk Ketua DPRD dan sisanya untuk para anggota pansus, uang itu diserahkan ke Nandjaya Hulopi.
" Ada lagi, kita sudah memiliki surat izin bongkar batu bara, tapi oleh Adpel Gorontalo kita masih harus menyetorkan 10 juta rupiah untuk setiap kali bongkar," Dia menyebutkan, sampai saat ini pihaknya sudah lima kali melakukan pembongkaran, sehingga sudah 50 juta rupiah yang di setorkan ke Adpel.
Semua pembayaran yang sifatnya tidak resmi, menurut bosco tidak masuk dalam pembukuan perusahaan, dan tidak ada kwitansi, tapi hal itu diketahui oleh manajemen PT TLG yang ada di Jakarta.
Meski sejumlah pejabat yang disebutkan itu membantah semua penjelasan bosco, namun fakta yang ada saat ini adalah pembangunan PLTU Molotabu masih tertatih. Pengoperasian PLTU Molotabu secara total dengan kapasitas 2 X 10 Megawaatt harus molor lagi.
Bosco sendiri hanya bisa memperkirakan, PLTU Molotabu baru bisa beroperasi total sekitar Juli atau Agustus 2014 mendatang, itu pun jika tidak ada hambatan, semoga.