Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kamisan, aksi diam yang digelar anggota keluarga
korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di depan Istana Merdeka,
akan berusia 10 tahun pada besok, Rabu 18 Januari 2017.
Sejak
Kamisan pertama pada Kamis 18 Januari 2007 hingga Kamis pekan lalu
(12/1), aksi bungkam dan mematung di depan istana menggunakan payung
hitam sebagai simbol duka, perlindungan dan keteguhan hati itu sudah
digelar sebayak 476 kali.
Aksi tersebut akan terus digelar para
anggota keluarga korban bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk
Keadilan (JSKK) dan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) sebagai bentuk perjuangan mengungkap kebenaran,
mencari keadilan, serta melawan lupa.
Dalam setiap aksi Kamisan,
ada harapan dan keteguhan hati para keluarga dan relawan agar pemerintah
menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM seperti Peristiwa 1965,
Tanjung Priok, Munir dan Tragedi Semanggi I dan II.
Maria
Katarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan),
mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang meninggal dalam peristiwa
Semanggi I, mengatakan aksi diamnya di depan Istana tidak akan sia-sia
karena ia bersama yang lain sedang memperjuangkan tegaknya supremasi
hukum.
Sumarsih mengatakan aksi diam itu ibarat "bersemi di musim
kering" yang mengartikan Kamisan akan terus ada selama pemerintah tidak
memperhatikan proses penegakan hukum, terutama kasus pelanggaran HAM.
"Kalau
lelah iya, tapi merasa sia-sia itu tidak karena yang kami perjuangkan
selama ini adalah memperjuangkan kemanusiaan yang saya harap tidak
menimpa pada diri saya dan jangan sampai menimpa orang lain," kata
Sumarsih di Jakarta.
Sumarsih mengaku ada rasa pesimistis kasus
yang menewaskan anaknya akan diungkap pada pemerintahaan kali ini.
Kendati demikian, ia akan terus melakukan aksi Kamisan sebagai bentuk
protes dalam keheningan.
"Kami diam bukan berarti mengalah tapi
diam dalam arti ada tuntutan yang kami sampaikan...Saya akan tetap
melakukan perjuangan ini," tutur wanita 65 tahun itu.
Sumarsih
mengatakan sosok Wawan akan terus hidup di dalam hatinya dan menjadi
semangat untuk terus berjuang kendati sehari-hari ia merasakan kerinduan
yang mendalam.
"Saya tidak pernah merasa ditinggal Wawan, dia
selalu ada di dalam hati saya. Wawan selalu ada bersama kami sekeluarga.
Saya merasa makam Wawan adalah taman hati kami sekeluarga," kata
Sumarsih kemudian tersenyum.
Refleksi 10 Tahun
Haris
Azhar, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS), mengatakan, pada 10 tahun Kamisan akan digelar refleksi
terkait potret penegakan hukum dan HAM selama 10 tahun belakangan hingga
di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Itu ada pada 10 tahun Kamisan nanti," kata Haris Azhar usai mengantar kartu pos bergambar aktivis hak asasi manusia Munir kepada Presiden Joko Widodo, di Kementerian Sekretariat Negara, Selasa.
Feri
Kusuma, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas sekaligus koordinator
Peringatan 10 Tahun Kamisan menjelaskan pada Rabu 18 Januari 2017 akan
diperdengarkan berbagai persepsi berkaitan penegakan hukum dan HAM dari
sudut pandang pemerintah, korban, aktivis, dan akademisi di Gedung
Komisi Yudisial.
Sedangkan pada Kamis 19 Januari 2017 akan
digelar Kamisan seperti biasa di depan Istana Merdeka namun akan
diramaikan dengan orasi tokoh dan seniman HAM.
"19 Januari di
tempat biasa, akan ada refleksi dari para tokoh HAM ada Frans Magnis,
Komaruddin Hidayat dan beberapa tokoh lainnya," kata Feri.
Melalui aksi itu diharapkan muncul tuntutan dan desakan agar pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Menanti Presiden
Pada
Peringatan 10 Tahun Kamisan, para keluarga korban dan aktivis juga akan
menyampaikan sikap menolak pembentukan Dewan Kerukunan Nasional yang
disiapkan pemerintah untuk menengahi konflik di masyarakat dengan
cara-cara non-justisia.
"Setelah tradisi diam 20 menit pada
Kamisan, ada orasi dari teman yang hadir, salah satunya meminta agar
pemerintah membatalkan Dewan Kerukunan Nasional," kata Feri.
Sumarsih
menyatakan kecewa saat mendengar kabar bahwa Presiden Joko Widodo
menyetujui dibentuknya Dewan Kerukunan Nasional. Menurut ibu mendiang
Wawan itu, Indonesia sebagai negara hukum semestinya bisa menyelesaikan
masalah pelanggaran HAM melalui meja hijau bukan secara non-justisia.
"Saya sangat pesimis ketika Pak Presiden menyetujui pembentukan Dewan Kerukunan Nasional," kata dia.
"Siapapun
tidak rela anaknya dibunuh sehingga yang saya perjuangkan adalah, dia
yang memebak Wawan dan memerintahkan menembak, ayo duduk bersama dalam
satu meja pengadilan," tutur Sumarsih.
Dalam setiap aksi Kamisan
ada harapan agar perjuangan para keluarga korban bisa didengar dan
disikapi pemerintah untuk mengambil tindakan.
Feri berharap
kehadiran Presiden Joko Widodo atau perwakilan pemerintah pada aksi
Peringatan 10 Tahun Kamisan guna mendengar secara langsung tuntutan yang
terus digelorakan para keluarga korban selama bertahun-tahun.
"Kami
harap Presiden Jokowi hadir dalam aksi Kamisan. Kami berharap beliau
datang langsung dan mendengar tuntutan masyarakat dan korban," tutur
Feri.
Selain itu, Sumarsih, juga masih mengharapkan Presiden Joko
Widodo mau menuntaskan janjinya mengungkap dan menyesailak kasus
pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk Tragedi Semanggi dan Trisakti.
"Semoga
presiden menunaikan janji sucinya, janji politiknya....untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Semanggi dan
Trisakti," pungkas Sumarsih.
Jelang 10 tahun aksi Kamisan, apa harapan mereka?
Selasa, 17 Januari 2017 19:44 WIB