Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Ketika bisnis aplikasi berbasis online berkembang laksana cendawan di musim penghujan, raksasa bisnis di bidangnya yang selama ini membangun kerajaan usaha selama bertahun-tahun layaknya tuan pada sebuah rumah yang baru saja disatroni maling.
Baik itu pengusaha transportasi, pengusaha ritel, bahkan pengusaha hotel yang tak pernah menyadari untuk menggarap pasar online hanya dalam sekejap saja merasakan betapa terganggunya bisnis yang tengah mereka jalani.
Itulah kekuatan sebuah disruptive teknologi yang memang sulit untuk diingkari manakala segala sesuatu bisa diselesaikan secara online dengan ujung jari saja.
Di bidang transportasi misalnya, raksasa Blue Bird harus bertekuk lutut di bawah bisnis anak ingusan Go-Jek yang baru saja merintis usaha dalam hitungan tahun. Bahkan kapitalisasi bisnisnya pun kini telah terlampaui.
Serupa di bidang industri pemesanan tiket, travel agen-travel agen pun semakin surut manakala Traveloka "si anak kemarin" sore lahir dan merampas kue bisnis di bidang tiketing.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya pernah beberapa kali mengingatkan travel agen konvensional untuk move on dan menggarap pasar online.
Bahkan ia juga menyediakan platform khusus bagi travel agen konvensional agar bisa mengelola bisnisnya secara online dengan hanya cukup mendaftar dan membiasakan diri dengan platform tersebut.
Namun mengubah kebiasaan yang telah mendarah daging rupanya bukan semudah membalik telapak tangan.
Arief Yahya pun menyadari hal itu tetapi ia tetap mengakui bahwa bisnis berbasis online di era digital tak terelakkan sehingga harus diciptakan regulasi pendukung agar tak ada celah yang membuat iklim usaha menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Celah Terbuka
Faktanya kekhawatiran banyak pihak tentang regulasi-regulasi yang masih menyisakan celah untuk dimanfaatkan kerap kali terbukti.
Pasca-ribut taksi online misalnya, kini penyewaan akomodasi non hotel online menjamur untuk traveler milenial, mulai dari sewa kamar sampai sewa rumah.
Hal ini dianggap mulai mengganggu bisnis perhotelan karena menyediakan kemudahan yang ditawarkan seperti siapa saja dapat menyewakan rumahnya atau kamarnya kepada wisatawan secara online.
Maka tak pelak kehadirannya pun menjadi pilihan bagi para kaum milenial untuk mencari akomodasi non hotel yang beragam dengan harga yang bisa dibilang jauh lebih murah.
Sayangnya pebisnis aplikasi online khususnya aplikasi pemesanan penginapan banyak dianggap telah memanfaatkan celah regulasi yang membuat iklim usaha menjadi tidak memiliki level of playing field yang setara.
Pengamat Teknologi Informasi Ruby Alamsyah mengatakan berkembangnya bisnis berbasis aplikasi online membuat iklim usaha berkembang menjadi tampak tidak lagi setara antara mereka yang konvensional dengan yang berbasis online.
"Memang mau tidak mau harus beradaptasi tapi juga level of playing field harus ditetapkan untuk segala jenis usaha semua pihak merasa bisnis yang fair," katanya.
Kendala yang berkembang saat ini di dunia IT, kata dia, ketika pebisnis berbasis aplikasi online menyatakan dirinya sebagai provider teknologi yang menyiapkan sistem teknologi.
"Beberapa alasan utama mereka melihat celah dalam sebuah bisnis, mereka bermain di celah regulasi yang ada," katanya.
Jika diperhatikan, kata Ruby, umumnya mereka menggunakan aturan yang cenderung digeneralisasi misalnya membantu mempermudah masyarakat menyediakan pelayanan yang lebih terjangkau.
"Lalu saat ada komplain baru mereka menyesuaikan dengan aturan yang ada," katanya.
Hal itulah menurut dia, membuat banyak pihak yang merasa regulator tidak menyediakan level of playing field yang setara.
Padahal dari berbagai keluhan pebisnis konvensional misalnya mereka yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang menganggap pebisnis berbasis aplikasi pemesanan penginapan telah melanggar sejumlah regulasi di Indonesia.
Misalnya soal perpajakan maupun UU Perumahan yang tidak memperkenankan rumah permukiman untuk dikomersialisasikan.
"Hal-hal inilah yang membuat mereka merasa bisnis tidak fair sehingga pebisnis online bisa leluasa, sementara mereka yang masih konvensional terancam dirugikan," katanya.
Sangat Keberatan
Celah-celah regulasi yang berhasil dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku bisnis aplikasi online faktanya mengancam keberlangsungan bisnis konvensional yang telah berkembang sebelumnya.
Serupa dalam bisnis penginapan online, maka hotel-hotel konvensional kini harus menanggung akibat maraknya konsumen yang pindah haluan memilih nonhotel yang dipasarkan secara online dengan harga yang lebih terjangkau.
Terkait hal itu, Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menegaskan kehadiran situs semacam ini merugikan perhotelan.
PHRI sangat keberatan terlebih karena mereka banyak mengambil porsi dan segmen pasar hotel yang sudah lebih dulu ada sejak lama.
Selain itu, menurutnya, keberadaan hotel maupun homestay sudah lebih terdata dengan rapi sehingga dapat diketahui rekam jejaknya. Sementara penginapan-penginapan yang dipasarkan secara online misalnya melalui Airbnb menurut dia belum terekam dan terdata dengan baik.
Sebagaimana kontroversi kendaraan online yang berbenturan dengan penyedia jasa konvensional, Hariyadi juga memposisikan situs sejenis itu serupa pada bisnis perhotelan.
Ia menyesalkan begitu banyaknya regulasi yang diterobos oleh pengelola situs penyewaan akomodasi non hotel online.
Mereka dianggap tidak memiliki dasar yang sama dengan perhotelan serta memiliki banyak kekurangan teknis sebagai sebuah akomodasi.
Untuk itu, Hariyadi mengharapkan, level of playing field-nya yang sama, membayar bayar pajak yang setara, dan sertifikasi keamanan yang juga dituntutkan kepada pengusaha perhotelan konvensional.
Hariyadi mengungkapkan kekhawatirannya, kalau nantinya situs semacam itu bisa menggilas prospek bisnis hotel ke depan.
Terlebih lagi jika investornya merupakan start-up yang digerakkan dengan investasi raksasa dari luar negeri dan bukan dari Indonesia.
Hariyadi pun mengatakan, jikapun harus menjalin kerja sama, dirinya lebih memilih bermitra dengan situs serupa dari dalam negeri.
Meski ke depan celah-celah regulasi yang masih tersisa itu harus segera ditutup agar tak perlu lagi tercipta iklim bisnis yang tidak adil di Tanah Air.