Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) bekerjasama dengan Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo menggelar webinar dengan topik “Apa Kabar Anoa di TNBNW?”.
Peneliti Anoa, Abdul Haris Mustari, Selasa, mengatakan anoa merupakan satwa penting hingga menyandang empat gelar yakni fauna maskot Sulawesi, fauna duta, spesies kunci, spesies payung, dan juga sebagai spesies bendera di Pulau Sulawesi.
Terdapat dua jenis anoa yakni anoa dataran rendah dan anoa dataran tinggi. Namun ia menyiratkan akan ada hasil penelitian terbaru terkait pembagian jenis anoa.
Anoa merupakan satwa yang kehidupannya sangat bergantung pada hutan primer, sehingga peralihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan maupun budidaya akan berdampak langsung pada kelestarian anoa.
Pejabat Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Niken Wuri Handayani mengatakan anoa merupakan aset bagi negara, karena nilai dan fungsinya terhadap lingkungan.
“Anoa menjadi aset negara karena materi genetik, jenis, dan ekosistem yang tidak tergantikan dan penting bagi kelangsungan kehidupan manusia,” kata Niken.
Niken juga mengingatkan, jika kehilangan suatu spesies sebagai entitas ekologi akan berdampak pada terganggunya kestabilan seperti rantai makanan sebuah ekosistem dan terancam punahnya spesies lain.
Sementara itu, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Muda Balai TNBNW Dini Rahmanita mengatakan pihaknya melakukan monitoring anoa di kawasan tersebut sejak tahun 2019 dengan metode kamera jebak (camera trap), untuk mendapatkan data okupansi atau tingkat hunian anoa di TNBNW.
Kamera dipasang di 50 lokasi selama 100 hari, dengan total luas area monitoring sekitar 44.964 hektare.
“Proses pengolahan data ini sangat penting sebagai sajian informasi yang membantu proses pengambilan keputusan, upaya pelestarian, publikasi ilmiah hingga informasi kepada masyarakat,” kata Dini.
PEH Pertama BTNBNW Haydin Rais Faizin mengungkapkan pendataan di lapangan membutuhkan persiapan yang matang dan keterampilan dalam menempatkan kamera, dengan memperhitungkan ketinggian kamera, jarak dari jalur satwa, serta arah datangnya cahaya.
“Kami mengamati jejak anoa seperti kotoran dan jejak kaki serta tanda di pohon. Dalam proses monitoring ini dilarang merokok di sekitar area pemasangan kamera dan menggunakan telepon satelit,” tambahnya.
Webinar tersebut diikuti oleh 235 peserta dari berbagai lembaga, instansi pemerintah, dan perguruan tinggi.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022