Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyayangkan munculnya petisi online menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) lantaran RUU itu dibuat untuk melindungi para perempuan agar tidak menjadi korban kekerasan.
 
"RUU P-KS sudah dua tahun mangkrak di DPR dan sedang mati-matian diperjuangkan agar segera disahkan untuk melindungi korban," Juru bicara PSI untuk isu perempuan, Dara Nasution dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa. 
 
Berdasarkan Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu) 2018 sebanyak 348.446 kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh Komnas Perempuan sepanjang tahun 2017. Faktanya, KUHP hanya mengatur perkosaan dan pencabulan. Sementara definisi dari istilah kekerasan seksual masih sebatas kontak fisik.
 
Caleg DPR RI dari Dapil Sumut III ini mengatakan, Indonesia membutuhkan payung hukum yang jelas dan spesifik untuk melindungi korban kekerasan seksual.
 
"Korban kasus kekerasan seksual seringkali tidak mendapatkan keadilan dalam proses penyidikan, dan bahkan dikriminalisasi, karena belum adanya payung hukum yang bisa sepenuhnya melindungi para korban. Indonesia butuh RUU P-KS," jelas Dara. 
 
Salah satu dosen di perguruan tinggi, Maimon Herawati membuat petisi yang menolak RUU P-KS tersebut dan telah menghimpun lebih dari 50.000 tanda tangan.
 
Dalam laman petisinya, Maimon juga menuding bahwa RUU P-KS pro terhadap hubungan seksual pra-nikah. Padahal, dalam RUU P-KS, Komnas Perempuan justru merekomendasikan pemerintah wajib menerapkan 5P. 
 
Di antaranya pencegahan melalui sistem pendidikan, perlindungan korban, penuntutan penghukuman (rehab dan sanksi sosial) pelaku, dan pemulihan korban.
 
Maimon Herawati membuat petisi karena RUU P-KS dianggap tidak mengatur hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama. Selain itu, dia juga tidak sepakat bahwa suami dapat dipenjara bila memaksakan hubungan seksual terhadap istrinya.
 
"Ibu Maimon jangan menebar ketakutan. Justru dengan adanya RUU P-KS perempuan Indonesia lebih terlindungi secara fisik dan mental. Moralitas seseorang tidak akan tergerus dengan adanya RUU ini," ujar Dara.
 
Ia menyarankan agar masyarakat lebih kritis terhadap ajakan menandatangani petisi tersebut. "Masyarakat jangan gampang terprovokasi dengan bahasa-bahasa sensasional. Cari tahu dulu RUU-nya tentang apa sebelum tanda tangan," tutup Dara.

Pewarta: Syaiful Hakim

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019