"Kepada kementerian dan lembaga yang sudah mendapat opini WTP pertahankan tapi juga tetap melakukan reform, yang belum baik segera diperbaiki," kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Senin.
Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut dalam acara "Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2019" yang juga dihadiri oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna, Menteri Kabinet Indonesia Maju, dan para pejabat terkait lainnya.
Untuk kementerian yang masih WDP (Wajar Dengan Pengecualian) dan TMP (Tanpa Menyatakan Pendapat) atau disclaimer
"Saya akan monitor terus, ikuti terus dari waktu-waktu apa saja langkah perbaikan yang dilakukan para menteri dan kepala lembaga. Langkah perbaikan harus betul-betul konkrit dan nyata," ujar Presiden Jokowi.
Tujuannya adalah agar setiap uang rakyat yang dikelola pemerintah dapat dipertanggungjawabkan. "Dan uang yang dikeluarkan rakyat juga bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat," tegas Presiden Jokowi.
Selama 4 tahun berturut-turut sejak 2016 sampai 2019, menurut dia, pemerintah pusat dapat mempertahankan opini WTP dari BPK.
"Jumlah entitas yang mendapat opini WTP juga meningkat dari 82 entitas dari 2018 menjadi 85 di tahun 2019. Saya minta kepada seluruh menteri dan kepala lembaga menjadi hasil BPK ini sebagai parameter perbaikan dan reform dan parameter pengelolaan anggaran negara," kata Presiden Jokowi.
BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019.
LKPP 2019 adalah laporan keuangan yang mengkonsolidasi 87 Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan satu Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2019.
BPK memberi opini WTP terhadap 84 LKKL dan satu LKBUN atau 96,5 persen yang meningkat dibandingkan dengan 2018 sebanyak 81 LKKL dan satu LKBUN.
Sementara 2 LKKL mendapat Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau 2,3 persen dari 88 LKPP dan Tidak Menyatakan Pendapat untuk satu LKKL atau 1,2 persen dari total LKPP yang diperiksa BPK.
Lebih lanjut, BPK juga mengidentifikasi sejumlah masalah terkait Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2019.
Masalah tersebut antara lain meliputi kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak; kewajiban pemerintah selaku pemegang saham pengendali PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) belum diukur atau diestimasi.
Kemudian terkait Pengendalian atas pencatatan Aset Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memadai; pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP Tahun 2019 sebesar Rp2.876,76 triliun yang belum didukung standar akuntansi.
Selanjutnya penyajian aset dari realisasi belanja untuk diserahkan kepada masyarakat Rp44,2 triliun pada 34 kementerian dan lembaga yang tidak seragam; skema pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN) pada pos pembiayaan yang tidak sesuai dengan PP No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Masalah lain juga mengenai ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program kegiatan dengan tahun penganggaran atas kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik maupun adanya kelemahan dalam penatausahaan dan pencatatan kas setara kas, persediaan, aset tetap, dan aset tak berwujud, terutama pada kementerian negara/lembaga.