Monalisa
Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
menilai bahwa Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris tidak memberi
jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
"Dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan
terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin
mengkhawatirkan," kata Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth
Indonesia) Kurniawan Sabar, dalam siaran pers yang diterima ANTARA News,
Minggu.
Menurut Kurniawan, kesepakatan di Paris sejatinya akan memberikan dampak
sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Namun,
hasil dari Kesepakatan Paris hanya memberi keuntungan bagi negara kaya
tetapi tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan rakyat.
Ia menambahkan, sikap pemerintah Indonesia yang pragmatis dan tidak
memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, telah meletakkan
Indonesia sebagai negara yang hanya ikut pada kesepakatan dan
kepentingan negara maju.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.
"Kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam
di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut,
dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya
hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim,"
ujar Kurniawan.
"Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari kesepakatan di
Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata
kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan
energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan
korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," jelasnya.
Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global.
Grup Friends of the Earth mengkritik terkait Kesepakatan di Paris
antara lain Kesepakatan Paris menegaskan bahwa dua derajat Celcius
adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap
negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur
hingga batas 1,5 dearajat Celcius.
Hal tersebut, menurut Friends
of the Earth tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju
untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan
finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban
tambahan kepada negara-negara berkembang.
Untuk mencegah perubahan iklim mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan penundaan.
Selanjutnya, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan,
negara-negara yang rentan termasuk Indonesia akan menanggung berbagai
masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh
mereka.
Selain itu, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan
dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang
tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada.
Kemudian, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.
Catatan kriris selanjutnya yakni pintu sangat terbuka bagi pasar untuk
mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam
teks. Hal tersebut menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam
sejarah.
Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan
negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di
negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari
bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.
Walhi: Kesepakatan di Paris tidak untungkan Indonesia
Minggu, 13 Desember 2015 17:12 WIB