Sebagai salah satu negara di dunia dengan tingkat kesenjangan kesejahteraan penduduk yang tinggi, Indonesia dikhawatirkan rentan mengalami prahara sosial sebagaimana pernah terjadi pada 1998.
Peringatan tentang dampak destruktif ketimpangan kesejahteraan terhadap kehidupan sosial politik berulang kali dikemukakan kalangan cendekiawan. Yang terakhir dilontarkan oleh Syafii Maarif, salah satu tokoh penting yang pernah memimpin organisasi massa berpengaruh Muhammadiyah.
Bagi pengambil kebijakan ekonomi makro, paradoks pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bukanlah hal baru. Ketika pertumbuhan ekonomi harus diutamakan, secara otomatis aspek pemerataan kue pembangunan tersendat. Sebaliknya, ketika pemerataan diutamakan, pertumbuhan ekonomi akan terbatas laju percepatannya.
Bekerja di antara ketegangan dua variabel itulah tugas paling pelik pengambil kebijakan negara. Namun, aspek politik yang tidak pernah lepas dari pertimbangan pengambilan kebijakan ekonomi makro memaksa sang pengambil kebijakan untuk awas dalam menghadapi dinamika sosial ekonomi politik.
Saat ini, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan tingkat pemerataan kesejahteraan di tempuh, antara lain, dengan menerapkan program ekonomi yang dimulai dari wilayah pinggiran. Bandara, pelabuhan, jembatan, dan jalan-jalan serta saluran irigasi dibangun di banyak Indonesia bagian timur.
Penggelontoran dana besar-besaran untuk kawasan pinggiran ini jelas, dalam waktu dekat, tidak akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Namun, pilihan kebijakan ini adalah langkah politik yang perlu diapresiasi karena sudah beberapa dekade dalam pemerintahan sebelumnya, pembangunan kawasan timur Indonesia itu terabaikan.
Dengan mengambil pilihan kebijakan yang memprioritaskan kawasan timur Indonesia, pemerintahan Joko Widodo memperlihatkan komitmennya untuk memprioritaskan pemerataan pembangunan. Yang mengejutkan, bahkan kebijakan yang mestinya mendapat apresiasi itu malah dikritik dengan argumen menghambur-hamburkan dana pembangunan.
Membangun infrastruktur di kawasan pinggiran tentu juga akan berpengaruh pada pendapatan warga miskin di kawasan bersangkutan. Pelibatan warga lokal dalam pengerjaan proyek-proyek di kawasan pinggiran itu tidak bisa dinafikkan. Namun, di sini pun, pada tataran praktis perlu komitmen pemerintah dalam mengajak warga lokal berperan dalam pembangunan infrastruktur.
Jangan sampai semua tenaga kerja, dari yang paling memiliki keahlian profesional di tingkat strategis organisasional hingga ke pekerja kasar didatangkan dari luar daerah. Komponen lokal dalam pengadaan material proyek pun diupayakan cukup mencapai rasio yang signifikan.
Upaya lain dalam meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi warga yang tinggal di kawasan pinggiran, yang masih merupakan kawasan hutan luas yang belum tergarap, adalah memberikan hak pengelolaan tanah-tanah milik negara. Meskipun belum bisa dipastikan bahwa langkah atau kebijakan ini akan segera mendongkrak pendapatan warga, sedikitnya pemerintah telah membuka peluang baru yang belum dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.
Yang agak kompleks justru upaya mengatasi kesenjangan kesejaheraan warga di perkotaan, yang jumlah orang miskinnya mencapai lebih dari 10 juta jiwa. Kemiskinan di kota inilah yang relatif cukup berpengaruh dalam menimbulkan kegaduhan sosial politik di pusat-pusat pemerintahan.
Persaingan keras dunia usaha di tingkat mikro atau menengah bawah di kantung-kantung kemiskinan di wilayah perkotaan telah berlangsung. Maraknya toko-toko dan pasar swalayan yang dimiliki pemodal besar hingga ke kampung-kampung membuat warung-warung kecil tradisional makin tertekan untuk bisa bertahan.
Itu sebabnya kebijakan sejumlah wali kota di Tanah Air, antara lain, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang melarang toko-toko waralaba berusaha di wilayah perkampungan cukup layak diapresiasi karena kebijakan itu merupakan realisasi dari pemihakan negara terhadap pelaku usaha di akar rumput.
Dengan modal yang kuat dan didukung kapitalisme yang menggurita, konsumen jelas akan memilih membeli kebutuhan paling elementer sehari-hari di toko-toko swalayan karena aspek kenyamanan transaksi maupun harga komoditas yang lebih murah.
Tampaknya, secara makro nasional, pemerintah telah memberikan sinyal bahwa kebijakan yang propemerataan, antikesenjangan perlu diprioritaskan, yang perlu diikuti oleh kalangan pemimpin daerah dalam mengimplementasikan garis-garis besar kebijakan yang dapat mengatasi ketimpangan kesejahteraan itu.
Ada faktor politik lain yang juga perlu diperhatikan oleh Pemerintah agar kondisi kesenjangan kesejahteraan itu tak memicu lahirnya prahara sosial sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998. Faktor itu adalah terpeliharanya rasa keadilan warga yang tak terlukai oleh praktik politik kalangan elite.
Peran Presiden RI Joko Widodo sangat diharapkan di sini. Misalnya, dalam konteks pertarungan elite yang melibatkan kekuatan sekelompok politikus yang berusaha mengebiri kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rasa keadilan masyarakat sedang dipertaruhkan. Rasa keadilan warga di akar rumput, yang masih belum sejahtera, akan tercederai jika Jokowi membiarkan lembaga penegak hukum penyelamat harta rakyat itu terkebiri oleh politikus Senayan.
Namun, jika Presiden berhasil dalam misi penyelamatan lembaga antirasuah itu, warga yang masih berada di bawah garis kemiskinan pun merasakan kepentingannya telah terbela. Dengan begitu, kesenjangan kesejahteraan yang belum teratasi pun dapat diprediksi tak dengan serta-merta mencetuskan prahara sosial.
Dalam 3 tahun pemerintahannya, Jokowi boleh dibilang telah cukup serius dalam upayanya memperbaiki kesejahteraan publik. Problemnya mungkin peningkatan kesejahteraan itu lebih banyak berlangsung di kalangan warga yang selama ini bukan bagian dari mereka yang berada di garis kemiskinan.
Untuk itu, dalam sisa waktu pemerintahannya, fokus untuk menyejahterahkan warga yang benar-benar miskin perlu ditingkatkan. Salah satunya, pembangunan stasiun pompa bahan bakar minyak di kawasan pantai untuk nelayan, misalnya, perlu diperluas sehingga menyentuh kebutuhan nelayan yang paling miskin dan paling memerlukannya.