Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Harapan antrean jamaah calon haji (JCH) agar lebih singkat pupus begitu otoritas Arab Saudi memastikan tidak akan menambah kuota berhaji bagi setiap negara di tahun 2019, termasuk dari Indonesia.
Sebagai gambaran, JCH dari Sulawesi Selatan jika ingin berhaji dan mendaftar saat ini maka harus menunggu setidaknya 38 tahun untuk bisa berangkat. Artinya, apabila calon haji (calhaj) mendaftar pada usia 30 tahun, diperkirakan pada umur 68 tahun yang bersangkutan baru benar-benar menunaikan Rukun Islam yang kelima itu.
Waktu tunggu yang lama untuk naik haji juga terjadi di daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Tengah dan Bengkulu yang diperkirakan waiting list bisa mencapai 21 tahun. Intinya, setiap daerah memiliki waktu tunggu yang tidak sebentar, setidaknya lebih dari 15 tahun. Dengan kata lain, semakin mendaftar di usia yang uzur, maka peluang berangkat berhaji semakin tua.
Itulah mengapa calhaj Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci kerap dipenuhi oleh jamaah-jamaah lanjut usia. Pada musim haji 2018, setidaknya 60 persen dari total kuota 221 ribu calhaj adalah jamaah berusia lanjut.
Sebagai hal yang manusiawi jika semakin renta seseorang maka kian memiliki kebugaran tubuh yang menurun, belum termasuk risiko kesehatan dengan berbagai penyakit yang bisa diidap. Dengan usia yang tidak lagi muda, menunaikan haji yang sifatnya ibadah fisik tentu tidak mudah.
Seorang calhaj dari Jawa Tengah, Naimah (perempuan, 50-an tahun), mengatakan dirinya tidak akan gusar berapapun lamanya antrean jamaah haji, termasuk jika nanti berangkat haji di usia yang semakin lanjut. Dia mengaku kurang tahu kapan berangkat lantaran informasinya kerap berubah-ubah.
"Terpenting adalah sudah mendaftar. Berangkatnya kapan itu saya ikhlas, semoga Allah sudah mencatat niat kita berhaji," kata pensiunan yang sudah masuk daftar tunggu haji dalam lima tahun terakhir tersebut.
Direktur Bina Haji dan Umrah Kementerian Agama Khoirizi H Datsir pada medio 2018 mengatakan daftar tunggu yang panjang tidak bisa dihindari karena kuota memang terbatas.?
Terkait jamaah usia lanjut, menurut dia, sebaran mayoritas lansia jamaah haji menjadi kendala tersendiri sehingga perlu mitigasi yang baik dengan segala risiko. Manajemen risiko harus dikelola dengan baik dengan tiga prinsip, yakni membina, melayani dan melindungi.
"Kalau dilihat sekilas ini memang seperti beban. Tapi sebenarnya tidak, ini adalah peluang untuk ibadah (bagi para petugas)," kata dia.
Lobi Haji
Pemerintah Indonesia melalui berbagai saluran kerap berupaya melobi ke pemerintah Arab Saudi agar kuota haji jamaah Indonesia bisa ditambah sehingga memangkas waktu tunggu berangkat JCH ke Dua Tanah Suci (Haramain) itu.
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel pernah menyinggung lobi terkait kuota haji saat berbincang dengan jurnalis, termasuk pewarta Antara, di sela melakukan rukun haji Wukuf di Padang Arafah, Arab Saudi.
Agus mengatakan Indonesia memperjuangkan tambahan kuota haji menjadi 250.000 dari 221.000 yang diberikan Arab Saudi di 2019.
"Sebagai Dubes yang ada di Saudi, kami melakukan diplomasi haji dengan pemerintah Arab Saudi. Untuk tahun depan kuota haji naik 250.000," kata dia saat Saudi belum memutuskan kuota haji 2019 bagi Indonesia.
Baru pada pertengahan Desember 2018, Saudi memberi kepastian soal kuota haji Indonesia tahun 2019 yang tidak berubah dibanding tahun sebelumnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Haji dan Umrah Kerajaan Saudi Muhammad Salih bin Taher Benten telah menandatangani nota kesepahaman Penyelenggaraan Haji 1440 Hijriyah/ 2019 Masehi.
Dari Taklimatul Hajj itu, Lukman mengatakan kuota tahun depan sama dengan dua tahun terakhir.
"Dalam MoU tersebut, disepakati bahwa kuota jamaah haji Indonesia 1440 Hijriah/2019 sebanyak 221 ribu orang atau sama dengan 2018 dan 2017. Karena proses renovasi Masjidil Haram, kuota haji Indonesia pernah dipotong 20 persen sehingga hanya 168.800 pada 2013?2016," kata dia.
Fasilitas Terbatas
Siapa saja boleh berandai-andai dengan penambahan kuota jamaah haji. Tetapi jika memantau langsung ke area pelaksanaan haji, bisa jadi akan berpikir ulang saat melihat kepadatan area ibadah haji, baik untuk kategori rukun haji, wajib haji, sunah haji dan hal terkait lainnya.
Salah satu tempat yang disorot adalah kawasan mabit di Mina. Mabit merujuk pada kegiatan menginap sementara. Sementara mabit di Mina adalah tinggal beberapa jam di kawasan itu sebagai bagian dari wajib haji sebelum melakukan lempar batu jumrah di kawasan Jamarat yang berbatasan dengan pinggiran Kota Mekkah.
Fasilitas di Mina cenderung sangat sulit untuk ditata dengan baik agar jamaah yang mabit di kawasan itu tidak berdesak-desakan di tenda.
Segala fasilitas untuk jamaah haji bisa ditingkatkan, tetapi sangat sulit untuk di Mina. Hotel tempat calhaj tinggal, Masjidil Haram, Jamarat, angkutan dan fasilitas terkait haji cenderung mudah ditingkatkan kualitasnya tapi tidak dengan kawasan di antara dua gunung (Baina Jabalain) tersebut.
Dari pengamatan Antara saat pelaksanaan mabit di Mina musim haji 2018, fasilitas tenda tergolong sempit untuk jamaah haji Indonesia. Kira-kira, setiap jamaah yang tinggal di tenda area mabit Mina hanya mendapatkan ruang tidak sampai satu meter per orang atau sekitar 0,8-0,9 meter.
Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) M Samidin Nashir mengatakan saat ini ruang bagi jamaah dalam satu tenda untuk mabit idealnya lebih lapang sekitar 1-1,5 meter. Dengan begitu jamaah bisa istirahat dengan nyaman.
"Saat ini jamaah hanya bisa tidur dengan kaki tertekuk. Akibatnya, sebagian jamaah tidur di luar tenda," katanya.
Dilema Mina
Mina merupakan salah satu tempat untuk mabit yang menjadi wajib haji. Daerah itu sudah dibatasi oleh syariat, yaitu diapit dua gunung. Daerah ini sangat penuh sesak dijejali lebih dari dua juta orang dari seluruh dunia untuk melakukan wajib haji. Kawasan gersang ini hanya ramai di musim puncak haji yang tidak sampai sepekan.
Karena wilayahnya dibatasi oleh syariat, cakupan Mina dari zaman Rasulullah hingga kini tetap sama, sementara jumlah Muslim sedunia bertambah. Saat ini setidaknya tiga juta orang berkerumun dalam waktu dan tempat yang sama menjadikan Mina bak lautan manusia.
Mina menjadi tempat tinggal sementara JCH dengan tenda semipermanen memanjang mulai dari Muzdalifah hingga ke pinggir Jamarat. Kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk itu hanya ramai di tanggal 11-13 Dzulhijah dalam penanggalan Hijriyah setiap tahunnya. Dalam periode itu jamaah haji sedunia tumpah ruah di satu tempat.
Singkat kata, Mina sangat sentral dalam penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah Indonesia dan Saudi.
Menag Lukman Hakim menyadari jika penambahan kuota haji bisa menjadi tragedi kemanusiaan jika tidak mengkaji matang-matang terkait Mina. "Sehingga tanpa didahului penambahan sarana dan prasarana ini, menambah kuota jamaah itu bisa menyebabkan tragedi kemanusiaan karena itu mengancam keselamatan jiwa semua kita," kata dia.
Di Mina sendiri terjadi peristiwa berjejal di dalam tenda untuk mabit. Selain itu, antrean di tempat wudhu dan toilet juga sangat panjang di jam padatnya. Maka, Lukman menegaskan sebaiknya dilakukan banyak perbaikan dulu sebelum menambah kuota.
"Fokus kita tidak menambah kuota selama sarana prasarana Mina belum ditingkatkan dengan baik," kata dia.