Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pertiwi Indonesia, Putri K Wardani, mengemukakan perempuan Indonesia rentan menjadi target radikalisme di tengah gencarnya penyusupan paham radikal yang berpotensi memecah kerukunan bangsa.
"Faktor agama, sosial dan kultural yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat menjadi sebab utama," katanya dalam dialog Merajut Kebhinnekaan bertema "Kita Bisa Apa" di The Goodrich Hotel, Jakarta, Kamis.
Menurut perempuan pengamat militer dan intelijen ini, perempuan kerap direkrut dan diinvestasikan oleh pelaku radikalisme melalui pernikahan, di mana secara sosial perempuan dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap pasangannya.
Dikatakan Putri perempuan tersebut kemudian mendapat doktrin bahwa ideologi Pancasila dan sistem demokrasi adalah buatan "thoghut" sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi agama.
Dialog ini menghadirkan pembicara yang aktif dalam upaya memperkuat kebhinekaan, di antaranya pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Direktur Nusantara Institute dan Penggiat Kebhinnekaan Prof Sumanto Al Qurtuby, dan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli.
Narasumber Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati dalam pemaparannya, memfokuskan perhatian pada rentannya perempuan Indonesia dijadikan target radikalisme yang penyusupannya makin mengkhawatirkan.
"Dengan kultur patriarki di Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat. Maka perempuan Indonesia akan lebih mudah menjadi terpapar radikalisme, terutama
perempuan di pedesaan yang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah" ujar Susaningtyas.
la menambahkan perlunya meningkatkan nilai kesetaraan dan keadilan gender, agar perempuan Indonesia dapat lebih berdaya melawan dominasi kultur patriarki.
Sementara itu, Prof Sumantho Al Qurtuby dalam paparannya yang berjudul "Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi dan Kekerasan", menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah mendorong masyarakat bisa merayakan keragaman tanpa diiringi sikap dan tindakan intoleransi dan kekerasan.
Direktur Nusantara Institute dan dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, ini menuturkan gagas tersebut penting untuk ditegaskan mengingat saat ini muncul berbagai kelompok agama, ideologi, dan politik intoleran dan radikal karena antikebhinekaan.
Sumanto, yang juga pegiat kebhinnekaan ini menjelaskan bahwa kelompok radikal tersebut terus berupaya menghilangkan masyarakat yang beragam atas nama agama, ideologi, etnis, suku, klan atau ras tertentu.
"Tak jarang dalam upayanya itu mereka menggunakan kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi," katanya.
Keberagaman masyarakat, menurut Sumanto merupakan kenyataan dan fakta sejarah yang ada di Indonesia sehingga harus disikapi secara tepat.
Sumanto menilai sikap terbaik dalam menyikapi masyarakat yang beragam di Indonesia adalah dengan menumbuhkan pluralisme kultural di masyarakat.
"Pluralisme kultural adalah pandangan atau sikap toleran pluralis dalam menyikapi keberagaman budaya yang berkembang di masyarakat," katanya.
Dalam konteks Indonesia, kata dia, batasannya adalah Pancasila, Konstitusi UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
"Dengan demikian pluralisme kultural itu bisa diterapkan sepanjang produk-produk kebudayaan itu tidak bertentangan dengan bangunan filosofi dasar dan konstitusi negara serta prinsip-prinsip fundamental toleransi pluralisme yang menjadi fondasi bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia," kata Sumanto.
Perempuan Indonesia rentan jadi target radikalisme
Kamis, 20 Juni 2019 18:12 WIB