Gorontalo (ANTARA) -
Siang itu, stan pameran arkeologi di Bandayo Poboide Kabupaten Gorontalo cukup ramai pengunjung. Di salah satu pojok, tampak beberapa siswa berkumpul menunggu antrian untuk maju ke depan.
Yang mendapat giliran maju ke depan, segera mengambil posisi jongkok lalu mengabadikan obyek dengan kamera telepon genggam. Ada juga yang melakukan swa foto dengan kerangka di depannya.
Remaja lainnya mencoba menyentuh kerangka, sambil bergidik ketakutan. Kerangka yang sedang menjadi pusat perhatian itu adalah replika manusia Oluhuta.
Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Utara Wuri Handoko menjelaskan kerangka Manusia Oluhuta berumur sekitar 700 tahun lalu dan ditemukan di Gorontalo. Situs ini kemudian ditetapkan sebagai Situs Oluhuta.
Manusia purba itu diduga mendiami pesisir pantai Desa Oluhuta Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango.
"Artefak yang ditemukan di Situs Oluhuta memiliki ciri-ciri budaya prasejarah antara lain berupa beliun batu persegi, sebagai alat-alat batu neolitik, pecahan-pecahan gerabah, dan sisa tuangan logam perunggu," jelasnya di Gorontalo.
Hasil ekskavasi yang dilakukan Balai Arkeologi pada delapan tahun lalu di situs ini, menemukan 12 kerangka manusia dalam keadaan baik dan relatif masih utuh.
Kedua belas kerangka tersebut ditemukan dalam keadaan sejajar teratur, membujur dengan orientasi arah hadap Barat-Timur.
Hal itu menunjukkan dikenalnya budaya penguburan manusia yang sudah terpola di tempat tersebut.
Penelitian Arkeologi
Peneliti dari Balai Arkeologi Irna Saptaningrum menjelaskan arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia masa lalu, dengan kajian sistematis berdasarkan benda-benda yang ditinggalkannya.
Benda-benda yang ditinggalkan tersebut dinamakan dengan data arkeologi. Sedangkan wujud tinggalan arkeologi berupa artefak, ekofak, dan fitur.
Artefak merupakan benda alam yang diubah oleh tangan manusia baik sebagian maupun seluruhnya, misalnya kapak batu, serpih batu, alat tulang, manik-manik.
Sedangkan ekofak adalah benda alam yang diduga telah dimanfaatkan oleh manusia, misalnya tulang, arang, dan serbuk sari.
Fitur merupakan artefak yang tidak dapat diangkat dari tempat kedudukannya (matrix) tanpa merusak, misalnya bekas lantai, bekas dinding, makam, dan tempat sampah.
Gorontalo sendiri memiliki potensi artefaktual yang mewakili masa prasejarah, masa Islam dan masa kolonial melalui tinggalan yang ada.
Irna menyebut tinggalan kerangka Manusia Oluhuta dapat mewakili masa prasejarah, yakni masa awal kehidupan manusia sampai ditemukannya bukti-bukti adanya tulisan.
Tinggalan yang mewakili masa Islam di Gorontalo adalah makam Raja Blongkod dan Masjid Sultan Amai.
Sedangkan Benteng Ulapahu, Benteng Maas dan Benteng Orange merupakan jejak masa kolonial yang masih terus diteliti hingga saat ini.
Sepanjang tahun 2019 Balai Arkeologi Sulawesi Utara telah melakukan empat penelitian arkeologi prasejarah dan dua penelitian arkeologi sejarah.
Sebagian penelitian dilakukan di Kota Gorontalo yakni bentuk dan struktur Benteng Nasau, serta arsitektur Benteng Maas di Kabupaten Gorontalo Utara.
Pihaknya melakukan penggalian atau ekskavasi di Asrama Polisi Kota Gorontalo, untuk menemukan sisa reruntuhan Benteng Nassau.
Keberadaan benteng tersebut tercantum dalam dokumen Belanda seperti sketsa, foto dan tulisan.
Dari sketsa yang ada, benteng yang dibangun pada masa VOC tampak memiliki dua bastion pengintai. Bastion depan untuk memantau perairan Teluk Gorontalo dan bastion belakang yang diduga untuk mengawasi bagian wilayah daratan, yang saat itu menjadi pusat kerajaan Gorontalo.
"Sayangnya di lokasi yang ingin kami gali, sudah berdiri bangunan dua lantai sehingga kami hanya melakukan ekskavasi di sekitarnya," kata Wuri Handoko.
Untuk penelitian Benteng Maas di Kabupaten Gorontalo Utara, Balai Arkeologi ingin menemukan reruntuhan dan posisi tiga dari empat bastion.
"Satu bastion masih tersisa meskipun kondisinya sudah rusak. Bastion ini berada di sisi Timur Laut," kata Irna.
Sumber dari Majalah Oudheidkundig Verslag pada tahun 1928, menyebutkan jika tiga dari empat bastion yang ada di Benteng Maas di sisi daratan masih dapat terlihat.
Bastion benteng tersebut segi delapan (oktagon), bentuk yang dinilai tidak lazim ditemui pada benteng yang dibangun Belanda karena umumnya berbentuk runcing seperti mata panah.
Manfaat arkeologi
Irma menyebut penelusuran jejak-jejak masa lampau bermanfaat untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan, menyusun kembali cara-cara hidup masa lalu, hingga mengetahui proses kebudayaan yang terjadi saat itu.
Peninggalan arkeologi memiliki nilai tinggi sebagai bahan pendidikan bagi siswa sekolah, dan pengetahuan bagi masyarakat luas.
Melalui arkeologi diketahui betapa benda-benda peninggalan mempunyai nilai luhur yang sangat tinggi, sehingga patut untuk dipelajari oleh semua lapisan masyarakat.
Menurutnya, peninggalan arkeologi bernilai luhur karena mengungkap kejayaan bangsa Indonesia pada masa lalu, serta mengungkap kemampuan teknologi nenek moyang yang cukup tinggi.
"Dari aspek sejarah, teknologi, dan keindahan nilainya juga tinggi. Beberapa peninggalan arkeologi bahkan memiliki keunikan dan nilai keagungan, sehingga dapat menjadi daya tarik wisata yang sangat besar," katanya.
Sejarawan dari Universitas Gorontalo, Joni Aprianto mengatakan penelusuran terhadap sejarah daerah tersebut masih harus terus dilakukan.
Ia mencontohkan tentang proses pembangunan Benteng Nassau, yang diduga mengeksploitasi banyak orang pada masa itu.
"Ini perlu ditelusuri kembali. Jangan-jangan ada hubungan yang signifikan antara penguasa pada waktu itu dengan pemerintah kolonial. Karena kalau membaca perjanjian-perjanjian pada masa itu, isinya sangat menguntungkan para elit lokal," jelasnya.*