Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena menilai besaran iuran yang ditetapkan secara berkala dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 sesuai perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.
"Alasan MA menolak permohonan tersebut, antara lain bahwa besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro melalui pesan singkat, Rabu.
MA juga memandang penetapan besarnya iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 telah memperhatikan mandat yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Untuk itu, perpres tersebut dinilai tidak bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU Kesehatan.
"Lagi pula Pasal 48 UU Nomor 40 Tahun 2004 memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS," tutur Andi Samsan Nganro.
Sebelumnya, MA menolak uji materi Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Hal itu diputus pada 6 Agustus 2020.
Berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu, kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan ditetapkan secara bertahap pada Juli 2020 dan kemudian Januari 2021, sementara peningkatan tarif peserta mandiri dengan manfaat perawatan kelas III disubsidi oleh pemerintah.
Iuran peserta mandiri Kelas III sebesar Rp42.000 mulai Juli 2020. Namun, peserta cukup membayarkan iuran sebesar Rp25.500, karena sisanya sebesar Rp16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat, sesuai ketentuan pasal 34 ayat 1 Perpres.