Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai sistem pengadilan etik dibutuhkan untuk segera dibangun agar persoalan etika ditangani khusus, bukan bercampur dengan persoalan hukum.
"Saya merasa ini saatnya memperkenalkan pentingnya rekonstruksi dan pelembagaan sistem pengadilan etik," ujar Jimly Asshiddiqie dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Etika disebutnya sama penting dengan hukum sehingga sudah saatnya peradilan etik dengan tempat banding tertinggi atau kasasi etik ditangani sebuah mahkamah tertinggi dalam bidang etika.
Ia mencontohkan dalam kasus pemberhentian tetap Komisioner KPU Ri Evi Novida Ginting yang melibatkan lembaga etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) serta lembaga hukum Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), putusan PTUN tidak berkaitan dengan pelanggaran etika yang sudah dibuktikan dalam sidang DKPP.
"Tidak relevan menilai sesuatu yang tidak melanggar hukum dengan kacamata etika," kata Jimly.
Untuk itu, ia mendorong sistem peradilan hukum dan peradilan etika berjalan dengan berkolaborasi secara terpisah, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai puncak peradilan hukum serta sebuah mahkamah untuk tempat banding persoalan etika.
Adapun Presiden Joko Widodo mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P/2020 tentang pemberhentian secara tidak hormat anggota KPU Evi Novida Ginting, setelah PTUN mengabulkan permohonan komisioner periode 2017-2022 itu pada 23 Juli 2020.
Evi dipecat dari jabatannya sebagai anggota KPU setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutus adanya pelanggaran etik dalam kasus perselisihan perolehan suara calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kalimantan Barat 6 dari Partai Gerindra.
Jimly: Sistem pengadilan etik dibutuhkan untuk persoalan etika
Jumat, 14 Agustus 2020 6:59 WIB