Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Akhyar menyatakan bahwa pemahaman Islam Wasathiyah atau moderat akan menjadi benteng kokoh dalam menghadapi ancaman radikalisme yang berpotensi menguat di Indonesia.
"Hal ini dianggap penting seiring dengan adanya indikasi menguatnya radikalisme di masyarakat. Penguatan Islam Wasathiyah mesti menjadi agenda MUI di setiap tingkatan," katanya saat memberikan arahan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) MUI 2021 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan ada dua paham radikalisme yang mengancam, yakni radikalisme kiri dan kanan. Radikalisme kiri bergerak ke arah pemikiran liberalisme, pluralisme, dan sekularisme yang disatukan dalam pemikiran agama. Sedangkan radikalisme kanan bergerak ke arah terorisme berkedok agama atau mengatasnamakan agama.
Menurut dia, pergerakan dua kelompok ini merupakan gambaran pertarungan ideologi global yang menggempur Indonesia dan telah memporak-porandakan keislaman yang selama ini telah dibangun ulama.
Radikalisme kiri, kata dia, menyasar para akademisi di kampus-kampus, sementara radikalisme kanan masuk melalui paham keagamaan yang sempit.
"Yang menerjang orang awam yang baru belajar agama tanpa guru melalui Google," katanya.
Maka dari itu, ia mengingatkan agar pengurus MUI di semua tingkatan mesti memahami Islam Wasathiyah sehingga dapat menjadi corong dalam menyampaikannya kepada umat. Dengan begitu, bibit-bibit radikalisme dapat segera terbendung dengan pemahaman Islam yang moderat.
"Semua pengurus MUI harus mendakwahkan Islam Wasathiyah kepada seluruh umat, sehingga pemahaman keislaman sebagaimana yang telah diletakkan para ulama terdahulu di Indonesia bisa hadir kembali menjadi jati diri kaum Muslimin," katanya.
Sebelumnya, Miftachul Akhyar mengingatkan jajarannya di organisasi mesti menjadi teladan bagi umat serta dapat berkontribusi dalam meluruskan kembali arah perjalanan bangsa ke depan.
Ada sejumlah peran dan fungsi ulama yang mesti dilakukan di tengah-tengah masyarakat yakni integritas, karya, dan kontribusi. Integritas yang dimaksud yakni ilmu kepemimpinan serta keberhasilan dalam bidang yang digeluti.
"Pertama itu integritasnya bisa dilihat dalam ilmu kepemimpinannya, keberhasilannya dalam bidang yang digeluti menjadi kekhasan dibanding segenerasinya dan juga bisa dilihat dari sudut integritas perilaku dan moralitas," katanya.
Kemudian, ulama mesti menghasilkan karya-karya baik karya fisik maupun nonfisik yang bermanfaat bagi masyarakat atau pemberdayaan manusia. Terakhir yakni kontribusi yang terlihat dari keikutsertaannya secara nyata dalam masyarakat baik dalam bentuk pikiran dan sebagainya, demikian Miftachul Akhyar.
MUI: Pemahaman Islam Wasathiyah jadi benteng hadapi radikalisme
Rabu, 25 Agustus 2021 19:37 WIB