Jakarta (ANTARA) - Perubahan iklim yang terjadi saat ini sebagai dampak dari pemanasan global tidak hanya memberikan efek langsung terhadap pola adaptasi makhluk, kepunahan, maupun es mencair di kutub, tetapi juga meningkatkan aktivitas petir, kata seorang peneliti.ertu
Peneliti klimatologi dari Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Erma Yulihastin di Jakarta, Rabu mengatakan riset yang dilakukan para ilmuwan pada 2014 menunjukkan aktivitas petir meningkat 50 persen di daerah Amerika Serikat.
"Peningkatan serupa mengonfirmasi bahwa aktivitas petir di dunia juga mengalami peningkatan karena isu pemanasan global," katanya dalam taklimat media yang diterima.
Ia menjelaskan pemanasan suhu permukaan di atmosfer bumi berimplikasi pada penambahan jumlah kelembapan atau uap air di atmosfer yang menjadi bahan baku utama pembentukan badai.
Hal ini dapat terjadi dengan cara meningkatkan energi potensial konvektif atau disebut dengan Convective Available Potential Energy (CAPE) yang terdapat pada tiap parsel udara.
Dikemukakannya bahwa nilai CAPE ini menjadi ukuran seberapa besar energi kinetik yang dapat dilepaskan dari parsel udara yang sedang bergerak ke atas karena proses konveksi.
"Ketika suhu udara mengalami pemanasan, maka CAPE akan meningkat karena peningkatan kelembapan, sehingga dapat menghasilkan banyak petir. Setiap peningkatan 1 derajat pada suhu udara, maka frekuensi petir meningkat sebanyak 12 persen," katanya.
Ia menyatakan di Indonesia petir lebih sering terjadi di kawasan pesisir. Dalam jurnal yang ditulis ilmuwan Brazil Rachel I. Albrecht dan teman-temannya melalui pengamatan selama 16 tahun menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah wilayah dengan aktivitas petir tertinggi kedua setelah Kongo di Afrika.
Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa area dengan aktivitas petir tertinggi terdapat di Pulau Sumatera yang memperlihatkan kejadian petir mencapai lebih dari 50 kali per tahun.
Wilayah petir di Sumatera tersebut memiliki dua karakteristik, yaitu petir malam hari dan siang hari. Petir malam hari umumnya terjadi karena dipicu oleh proses konvergensi dan pembentukan badai di Selat Malaka.
Petir malam hari ini sangat intensif dan pengaruhnya dapat mencapai kawasan pesisir timur Sumatra bagian utara. Sementara itu, petir siang hari juga dihasilkan dari pembentukan badai di atas darat yang juga terjadi di kawasan pesisir timur Sumatra bagian utara.
Fenomena ini sekaligus membuktikan kawasan pesisir timur di Sumatra bagian utara lebih sering mengalami aktivitas petir dibandingkan kawasan pesisir barat.
Penelitian ini, katanya, sekaligus menunjukkan wilayah dengan aktivitas petir tertinggi di Indonesia berada di Pulau Sumatra terkhusus kawasan pesisir timur Sumatra bagian utara.
Wilayah kedua adalah Jawa bagian barat dan tengah dengan lokasi petir terdistribusi lebih merata di daratan yang merupakan area pegunungan maupun dataran rendah.
Hal ini menunjukkan topografi dan interaksi sirkulasi angin darat-laut berperan lebih dominan terhadap frekuensi kejadian petir di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
"Penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme petir di Jawa perlu dikaji lebih lanjut karena hingga saat ini penelitian petir di Indonesia masih sangat terbatas," demikan Erma Yulihastin .