Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) mengidentifikasi bahwa modus pendanaan terorisme yang berisiko
tinggi digalang melalui sumbangan ke yayasan, dan sebagian dengan
penyalahgunaan yayasan.
"Kebanyakan mereka menggunakan wadah
yayasan, sedangkan ada 130.000 yayasan di Indonesia," kata Ketua PPATK
Muhammad Yusuf, Jakarta, Senin.
Menurutnya, modus pendanaan melalui yayasan dilakukan dengan
berbagai latar belakang seperti untuk kegiatan keagamaan, pendidikan,
dan sosial.
Untuk itu, ia menyarankan agar dana yang masuk ke yayasan juga perlu
diaudit sehingga diketahui asal dan peruntukan dana itu.
"Setiap aliran dana masuk ke yayasan, harus diaudit supaya jelas
dari mana asalnya dan digunakan untuk apa sehingga tidak disalahgunakan
untuk praktik-praktik tertentu seperti terorisme," ujarnya.
Selain melalui yayasan, ia mengatakan modus pendanaan terorisme juga
dilakukan melalui kegiatan usaha atau berdagang dan kegiatan kriminal.
Modus pendanaan terorisme melalui usaha dan berdagang,, salah satu
indikasinya ketika banyaknya dana yang masuk ke suatu perusahaan tidak
sebanding dengan nilai dan jumlah transaksi yang dilakukan.
Ia mengharapkan aparat penegak hukum dapat memfokuskan pada tiga
tindak pidana asal yang berisiko tinggi terjadinya pencucian uang yakni
narkotika, korupsi, dan perpajakan.
Sementara, bagi pihak regulator, ia mengharapkan dapat memfokuskan
perhatian terhadap kebijakan dan pengawasan pelaksanaan anti pencucian
uang dan pendanaan terorisme pada industri pasar modal.
Selain itu, ia mengatakan pentingnya peranan seluruh pemangku
kepentingan dalam mendukung integrasi dan akses data untuk memberantas
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Muhammad Yusuf mengatakan terdapat sembilan wilayah yang berisiko
tinggi terjadinya tindak pidana pendanaan terorisme yakni DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh
Darusalam, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
"Untuk pemindahahan dana terorisme yang berisiko tingi yaitu melalui
sistem pembayaran elektronik, sistem pembayaran online, sedangkan untuk
transaksi yang beresiko tinggi yaitu tarik atau setor tunai," ujarnya.
Di sisi lain, ia mengatakan sejak 2010 hingga 2015, ada lebih dari 50 kepala daerah dengan transaksi keuangan mencurigakan.
Ia mengatakan hasil analisis terhadap lebih dari 50 kepala daerah
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia itu telah diserahkan ke
penegak hukum.
Namun, ia mengatakan penegak hukum masih terbentur dengan kecukupan
alat bukti untuk menjerat lebih dari 50 kepala daerah itu.
"Semuanya belum ada feedbackhkm ditindaklanjuti," ujarnya.
PPATK: modus pendanaan terorisme melalui yayasan dan usaha
Selasa, 29 Desember 2015 10:07 WIB