Surabaya (ANTARA GORONTALO) - Sutradara Joko Anwar mengaku tidak punya modal saat akan membuat film "A Copy of My Mind".
"Saya dan Tia Hasibuan (produser) mencari dana ke luar negeri dengan mengirimkan ide film itu ke Asian Project Market yang merupakan bagian dari Busan Film International Film Festival. Acaranya diikuti 1.000-an proyek film dan akhirnya dipilih 20 APM yang dibiayai," kata Joko dalam kuliah umum bertajuk "Audio Visual" di Auditorium Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya, Rabu.
Dari APM di Busan itu, mereka akhirnya menemukan investor yang mendanai filmnya Rp150 juta.
"Modal segitu tentu tidak cukup, lalu kami menyiasati dengan mematangkan persiapan hingga delapan bulan mulai dari cari pemain, lokasi syuting, peralatan, dan sebagainya," katanya.
Setelah itu, pihaknya melakukan syuting dalam delapan hari saja dengan melibatkan 20 kru dan hanya lima pemain.
"Lokasi pun, kami pilih lokasi natural, seperti kos, pasar VCD bajakan, dan sebagainya. Setelah itu, kami melakukan pasca-produksi selama empat bulan, seperti memasukkan 36 lagu sebagai musik pengiring," katanya.
Selain itu, pihaknya meminta kru dan pemain film untuk menandatangani kerja sama untuk tidak dibayar langsung, melainkan pihaknya menerapkan persentase royalti kepada semua kru dan pemain film bila ACOMM sudah tayang di bioskop.
"Itu tidak mudah, tapi kami memiliki leadership yang didasarkan kepercayaan dan keyakinan bahwa film yang dirancang akan menghasilkan hiburan yang membanggakan kami dan mungkin juga Indonesia. Jadi, itu film yang natural dan Indonesia banget," katanya.
Dari kepercayaan dan keyakinan itu, pihaknya mau berbagai "ilmu" kepada generasi muda, termasuk di UK Petra Surabaya.
"Kami tidak membuat film untuk sebuah nilai uang tertentu, tapi kebanggaan itulah yang penting. Untuk membiayai hidup, kami membuat iklan, film pendek, dan semacamnya yang dibeli merek laptop, pasta gigi, televisi, dan sebagainya," katanya.
Ia menambahkan kebanggaan itu akhirnya datang dengan adanya penghargaan kalangan internasional, termasuk maestro dunia dalam perfilman.
"Jadi, jangan semata-mata mencetak uang, tapi mencetak karya. Apa yang kami hasilkan membuktikan masyarakat Indonesia juga bisa, apalagi ekonomi kreatif akan jadi lokomotif," katanya.