Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan kabinet Joko Widodo telah resmi mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 2025 lewat tradisi tahunan Nota Keuangan. Ada dua narasi utama yang menjadi khas RAPBN kali ini: transisi dan keberlanjutan.
Seiring dengan jargon Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan putra Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden berikutnya, yakni ‘Keberlanjutan’, Jokowi melalui kabinetnya merancang proses transisi yang lebih halus.
Berbeda dengan transisi APBN pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada presiden berikutnya, Jokowi memberikan ruang koordinasi yang leluasa kepada tim Prabowo dalam perencanaan fiskal. Ini adalah gaya yang berbeda dari proses sebelumnya, di mana pemerintah petahana umumnya tidak melibatkan tim pemerintahan mendatang saat penyusunan anggaran, namun memberikan ruang fiskal yang cukup untuk pemerintahan baru memasukkan program-program prioritasnya.
Tradisi baru ini belum bisa dibuktikan efektivitasnya, apakah memang memberikan dampak pembangunan negara yang berkelanjutan atau malah membuktikan kekhawatiran soal politik anggaran yang sarat dengan kepentingan. Kabinet Prabowo memiliki peran krusial dalam menjawab pertanyaan ini.
Pertumbuhan di tengah stagnasi ekonomi
Kabinet Jokowi menetapkan target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun depan, sedikit lebih tinggi dari proyeksi tahun ini yang sebesar 5,1 persen. Peningkatan itu ditetapkan di tengah perkiraan stagnasi perekonomian global. Terakhir, Dana Moneter Internasional (IMF) mematok angka 3,2 persen untuk pertumbuhan ekonomi dunia pada 2024 dan 2025, sama seperti kinerja pertumbuhan pada 2023.
Jokowi, dalam pidatonya di RUU APBN Tahun Anggaran 2025 dan Nota Keuangan pada Sidang Paripurna, menyebut permintaan domestik akan menjadi andalan negara dalam menopang perekonomian. Dia optimistis strategi itu mumpuni seiring dengan langkah Pemerintah mengendalikan inflasi, menciptakan lapangan kerja, serta menyalurkan bantuan sosial (bansos) dan subsidi sehingga daya beli terjaga.
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulanan berturut-turut dalam 3 bulan terakhir. Di satu sisi, deflasi bisa menjadi indikator tersedianya pasokan yang memadai di pasar sehingga harga terkendali. Akan tetapi di sisi lain, konsistensi deflasi beberapa bulan terakhir memicu kekhawatiran melemahnya daya beli masyarakat sehingga menurunkan kinerja permintaan.
Untuk mengantisipasi persoalan permintaan domestik, Jokowi mengaku bakal berfokus pada peningkatan produk-produk bernilai tambah tinggi yang berorientasi ekspor serta dukungan insentif fiskal. Senada dengan arahan Jokowi, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Maju memastikan anggaran perlindungan sosial diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari miskin, rentan, kelas menengah, hingga kaya.
Asumsi makro 2025
Di samping pertumbuhan ekonomi, pemerintahan Jokowi juga menetapkan asumsi makro lainnya, di mana sebagiannya tetap berada dalam rentang yang disepakati dengan DPR dalam pembahasan pendahuluan RAPBN 2025, sementara asumsi lain melampaui dari yang telah dibahas.
Asumsi yang melewati batas yang disepakati adalah nilai tukar rupiah. Jokowi mengumumkan nilai tukar rupiah diperkirakan di sekitar Rp16.100 per dolar AS, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya Rp15.300-Rp15.900 per dolar AS. Padahal, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) optimistis rupiah akan bergerak stabil dengan kecenderungan menguat ke depan, seiring dengan menariknya imbal hasil (yield), inflasi yang terkendali, dan tetap baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berikutnya, asumsi suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun dalam RAPBN 2025 ditetapkan sedikit lebih rendah dari batas atas proyeksi sebelumnya, yakni 7,1 persen dari rentang 6,9–7,2 persen.
Akan tetapi, asumsi makro lainnya tetap berada dalam level aman dari rentang yang disepakati dengan DPR, seperti inflasi 2,5 persen dari rentang 1,5–3,5 persen.
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan pada 82 dolar AS per barel, masih dalam rentang sebelumnya 75–85 dolar AS per barel. Kemudian lifting minyak diperkirakan 600 ribu barel per hari, masih di bawah batas atas proyeksi sebelumnya 605 ribu per barel per hari. Sementara gas bumi sedikit di atas batas bawah kesepakatan sebelumnya, yakni 1,005 juta barel setara minyak per hari dari batas 1,003 juta barel setara minyak per hari.
Defisit fiskal
Salah satu yang menjadi perhatian utama dalam RAPBN 2025 adalah defisit fiskal yang melebar dari target tahun ini. Defisit pada APBN 2024 ditetapkan sebesar 2,29 persen, sementara dalam RAPBN 2025 ditargetkan sebesar 2,53 persen.
Pendapatan negara dirancang sebesar Rp2.996,9 triliun, terdiri atas penerimaan perpajakan Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp505,4 triliun. Target itu sedikit lebih tinggi dari desain APBN 2024 sebesar Rp2.801,9 triliun, yang peningkatannya akan didorong melalui keberlanjutan reformasi perpajakan serta upaya menjaga iklim investasi agar terus terjaga.
Sementara itu, belanja negara dicanangkan sebesar Rp3.613,1 triliun, terdiri atas belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.693,2 triliun serta transfer ke daerah Rp919,9 triliun. Berbeda dengan pendapatan negara yang naik tipis, belanja negara naik signifikan dari desain APBN 2024 yang sebesar Rp3.325,1 triliun.
Belanja negara diarahkan untuk mendukung program prioritas Pemerintah yang memberikan efek berganda (multiplier effect). Setidaknya, terdapat dua program yang menjadi ciri utama pemerintahan mendatang, yakni program keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program baru Makan Bergizi Gratis (MBG).
Untuk IKN, kabinet Jokowi menganggarkan dana Rp143,1 miliar. Terbilang kecil bila dibandingkan dengan pagu program infrastruktur yang mencapai Rp400,3 triliun, di mana IKN menjadi salah satu program yang disasar. Berdasarkan penjelasan Sri Mulyani, anggaran IKN yang dicantumkan dalam RAPBN 2025 merupakan anggaran dasar (baseline), dan Pemerintah mendatang memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan kembali sesuai dengan prioritas kabinetnya.
Adapun program MBG dianggarkan sekitar Rp71 triliun atau 0,29 persen terhadap PDB, yang termasuk biaya makanan, distribusi, dan operasional lembaga yang menangani program MBG. Program ini ditargetkan dapat memberikan efek ekonomi berganda. Selain perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM), MBG diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 0,10 persen dan penyerapan 0,82 juta pekerja melalui pemberdayaan UMKM.
Kehadiran MBG dalam RAPBN 2025 menandai tradisi baru APBN transisi, ketika program Pemerintah berikutnya telah dipertimbangkan dalam desain fiskal pemerintah petahana.
Dalam upaya memperlancar desain program ini, Jokowi melantik Thomas Djiwandono, yang sebelumnya merupakan anggota Bidang Ekonomi dan Keuangan Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, menjadi Wakil Menteri Keuangan II.
IKN dan MBG menjadi dua program yang dikhawatirkan dapat membebani fiskal negara, yang kekhawatirannya makin didukung dengan pelebaran defisit pada RAPBN 2025. Untuk itu, baik IKN maupun MBG dapat menjadi penentu, apakah tradisi keberlanjutan dalam pengelolaan fiskal menjadi pendekatan transisi yang lebih efektif.
Catatan untuk kabinet Prabowo
Pengelolaan fiskal merupakan aspek penting dalam keberlanjutan suatu negara. Indonesia telah mempertahankan citra yang positif di mata internasional, terutama terkait keberhasilan Indonesia mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen usai pandemi COVID-19 serta defisit yang mampu ditekan kembali ke bawah 3 persen seperti yang diamanatkan konstitusi.
Citra positif itu menjadi PR bagi pemerintahan Prabowo untuk melanjutkannya. Dengan ruang partisipasi yang cukup fleksibel dalam masa transisi ini, seharusnya bisa dioptimalkan untuk menyerap pembelajaran strategi fiskal dari pemerintah petahana.
Pemerintah mendatang hendaknya tetap menjaga pengelolaan fiskal yang bijak dan cermat sehingga peran APBN sebagai shock absorber bagi negara dapat terus berlanjut.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: RAPBN 2025: Transisi dan keberlanjutan