Surabaya (ANTARA) - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menilai, penurunan tarif pungutan ekspor menjadi 7,5 persen dari yang sebelumnya 11 persen mampu meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia.
Menurutnya, kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi para pengusaha di tengah tingginya beban industri sawit.
“Jadi kan kita sekarang terbebani tiga ya. Satu adalah Domestic Market Obligation (DMO), kemudian pungutan ekspor (PE), kemudian Bea Keluar (BK). Nah ini kalau waktu itu kan total kira-kira (beban perusahaan) sekitar 138 dolar AS. Dengan pungutan ekspor turun menjadi 7,5 persen, ini kira-kira sekarang di angka sekitar 130 dolar AS. Jadi masih harga mending. Jadi artinya ini cukup membantu,” ujar Eddy saat ditemui usai menghadiri Sosialisasi Pelaksanaan Eksportasi dan Pungutan Ekspor atas Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya di Surabaya, Kamis.
Eddy menilai langkah pemerintah ini sangat diapresiasi karena mendukung daya saing ekspor sawit Indonesia di pasar global. Ia juga menegaskan bahwa permintaan terhadap CPO tetap tinggi, meskipun dihadapkan pada persaingan dengan minyak nabati lainnya.
Meski menyambut baik kebijakan ini, Eddy mengakui bahwa industri masih berharap tarif pungutan ekspor dapat diturunkan lebih jauh. Namun, pihaknya juga menyadari pentingnya tarif pungutan tersebut guna mendukung program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi prioritas pemerintah.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa data ekspor menunjukkan peningkatan pada Oktober 2024 yang mencerminkan dampak positif kebijakan tarif pungutan ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 9BPS), nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai 2,37 miliar dolar AS pada Oktober 2024. Nilai ekspor CPO mengalami peningkatan 70,90 persen secara bulanan (mtm) jika dibandingkan bulan sebelumnya, dan secara tahunan meningkat 25,35 persen (yoy).
Dengan penyesuaian tarif ini, GAPKI berharap ekspor CPO Indonesia terus meningkat dan industri sawit tetap menjadi tulang punggung ekspor nasional.
“Artinya kita juga ingin meningkatkan ekspor karena demand itu tidak berhenti. Walaupun mereka ada minyak lain, tetapi sawit itu tidak tergantikan. Ada beberapa yang industri itu tidak bisa menggunakan minyak lain selain sawit,” terang Eddy.
Adapun Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menjelaskan, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menyesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 62 Tahun 2024 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan tersebut, tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit untuk CPO dan produk turunannya berubah yang semula merupakan tarif spesifik menjadi tarif advalorum (persentase dari harga CPO Referensi Kementerian Perdagangan yang berlaku). Sedangkan untuk produk non minyak, tarif pungutan ekspor masih menggunakan tarif spesifik seperti pada kebijakan tarif sebelumnya.
"Besaran tarif pungutan ekspor dibagi ke dalam lima kelompok jenis barang, yaitu Kelompok I dengan dengan tarif spesifik sesuai jenis barang, Kelompok II sebesar 7,5 persen dari harga CPO Referensi Kemendag, Kelompok III sebesar 6 persen dari harga CPO Referensi Kemendag, Kelompok IV sebesar 4,5 persen dari harga CPO Referensi Kemendag, dan Kelompok V sebesar 3 persen dari harga CPO Referensi Kemendag," jelasnya.
Pengenaan tarif baru tersebut sudah berlaku sejak tanggal 22 September 2024.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: GAPKI nilai tarif pungutan ekspor 7,5 persen tingkatkan ekspor CPO