Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Jakarta Hendri Satrio mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sanksi pidana atau denda, minimal menjadi peringatan dini bagi aparatur sipil negara (ASN) dan TNI/Polri yang tidak netral dalam pilkada.
"Jadi ya minimal ada dulu aturannya," kata pria yang kerap disapa Hensat itu kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, efektivitas nya sanksi itu belum teruji karena baru diputuskan, tetapi setidaknya hal tersebut bisa menjadi alarm atau pengingat untuk para ASN dan TNI/Polri, agar tidak bermain-main atau bertindak 'nakal' dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
Hensat mengimbau, para bawahan harus berani melaporkan atasannya yang melakukan tindakan tidak netral dalam pesta demokrasi lima tahunan itu, guna mendorong terwujudnya pilkada yang jujur dan adil.
"Berani atau tidak anak buahnya melaporkan atasannya, itu poin nya menurut saya," ujar lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) itu.
Begitu juga sebaliknya, tambah Hensat, apakah atasan mau menghukum anak buahnya yang melanggar.
Ditambah lagi, nilai denda yang maksimal Rp6 juta masih dinilai terlalu kecil untuk menjadi warning.
Meski belum yakin dengan efektivitas sanksi itu, tetapi Hensat masih akan melihat sejauh apa penindakan yang dilakukan dalam proses penegakan aturan tersebut.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN), pejabat desa, pejabat daerah, pejabat negara, serta aparat TNI-Polri yang melanggar netralitas dalam proses pilkada.
Putusan MK memungkinkan dikenakannya sanksi kepada pelanggar, berupa pidana penjara dan denda hingga Rp6 juta sesuai Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015.
Sebelumnya, pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas bahwa pejabat daerah dan aparat TNI-Polri. Namun, setelah putusan MK terbaru, keduanya termasuk dalam pasal tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sanksi bagi ASN pelanggar netralitas pilkada, akademisi: Minimal ada