Jakarta (ANTARA) - Wall Street seperti sedang diterjang badai. Pusat keuangan AS itu belum pernah terlihat mengalami kehancuran sehebat ini, sejak era dot-com bubble.
Dalam satu hari, nilai pasar NVIDIA anjlok hampir Rp9.700 triliun, menyapu bersih miliaran dolar dalam sekejap. Microsoft, Google, dan Meta ikut terseret dalam badai yang sama.
Para investor yang dulu percaya diri dengan dominasi Amerika di bidang kecerdasan buatan (AI), kini panik. Sebab, ancaman itu nyata, bukan rudal, bukan senjata nuklir, melainkan sebuah algoritma cerdas yang lahir dari China, DeepSeek.
Di Washington, suasana mencekam. Gedung Putih menggelar pertemuan darurat, membahas langkah taktis menghadapi serangan AI China yang bisa mengubah keseimbangan geopolitik global.
Pentagon diperintahkan untuk mempercepat pengembangan sistem pertahanan berbasis AI, bukan untuk perang konvensional, tetapi untuk mempertahankan dominasi ekonomi digital AS.
Presiden AS Donald Trump, yang menjadi episentrum dan figur berpengaruh dalam politik Amerika, menyadari bahwa ini bukan sekadar persaingan teknologi, ini adalah pertarungan untuk menguasai masa depan.
Di Beijing, sebaliknya, ada keheningan penuh kemenangan. DeepSeek telah membuktikan bahwa dominasi AI bukan lagi monopoli Silicon Valley.
Dengan pendekatan berbeda dan efisien, yakni memanfaatkan data dalam jumlah masif dan keunggulan biaya, China mulai mengukir jalannya sendiri dalam peta kecerdasan buatan dunia.
DeepSeek memang seperti sedang mengamalkan jurus perang ala Sun Tzu yang menggunakan kekuatan musuh untuk menang, dengan cara memanfaatkan kelemahannya.
Hasilnya tidak main-main, DeepSeek menjadi aplikasi AI nomor 1 hanya dengan bermodalkan dana kurang dari 1 persen dari yang pernah digelontorkan oleh OpenAI untuk menciptakan Chatgpt. DeepSeek juga menggunakan karyawan hanya 4 persen dari karyawan OpenAI.
Data yang dirangkum dalam berbagai sumber menjabarkan bahwa OpenAI perlu waktu 10 tahun untuk menjadi seperti sekarang, dengan 4.500 karyawan dan pendanaan mencapai Rp105,6 triliun, hingga menjadi aplikasi ranking 2 di App Store.
Sementara DeepSeek hanya perlu waktu 2 tahun dengan karyawan 200 orang dan funding Rp89 miliar. Kini aplikasi tersebut menjadi ranking 1 di App Store.
Bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, pertanyaannya bukan lagi apakah AI ini akan masuk, melainkan seberapa siap bangsa ini menghadapi revolusi yang sudah di depan mata.
Sebagai negara berkembang, dengan potensi digital yang besar, Indonesia memang memiliki peluang untuk memanfaatkan teknologi ini guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Namun, di balik peluang tersebut, ada tantangan yang perlu diwaspadai. DeepSeek, yang dirancang untuk menyaingi ChatGPT buatan AS, menawarkan solusi AI yang lebih terjangkau dan mudah diakses, terutama bagi pasar di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Kehadirannya tidak hanya memperkaya pilihan teknologi, tetapi juga membuka pintu bagi inovasi di berbagai sektor, mulai dari pendidikan hingga kesehatan.
China, sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia memang harus diakui memiliki keunggulan dalam hal data, komoditas paling berharga di era AI.
DeepSeek memanfaatkan kekuatan ini dengan baik, menciptakan platform yang mampu memahami dan memproses berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah.
Kemampuan multibahasa ini sangat relevan bagi Indonesia, yang memiliki keragaman linguistik yang tinggi.
Misalnya, DeepSeek dapat digunakan untuk mengembangkan aplikasi pendidikan berbasis AI yang mampu beradaptasi dengan bahasa lokal, sehingga memudahkan akses pembelajaran bagi masyarakat di daerah terpencil.
Selain itu, integrasi DeepSeek dengan ekosistem digital China, seperti WeChat, Alibaba, dan Baidu, memungkinkan pengguna Indonesia untuk mengakses layanan AI secara lebih mulus dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak ekonomi
Dari sisi ekonomi, persaingan antara DeepSeek dan AI buatan AS, seperti ChatGPT, membawa dampak positif bagi Indonesia.
Dengan adanya alternatif yang lebih murah, Indonesia dapat mengadopsi teknologi AI, tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Hal ini, terutama bermanfaat bagi sektor UMKM, yang dapat memanfaatkan DeepSeek untuk analisis pasar, manajemen inventaris, atau bahkan pemasaran digital.
Menurut laporan PwC (2022), pasar AI global diprediksi akan mencapai nilai 1,5 triliun dolar AS pada 2030, dan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ini.
Ketua Komtap AI APTIKNAS Karim Taslim menyatakan bahwa persaingan AS-China dalam AI membuka peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan teknologi terbaik, dengan biaya yang lebih kompetitif.
Apalagi Deepseek muncul setelah mempelajari kelemahan dan kekurangan existing GenAI. Maka, seperti pebisnis yang membuka bisnis baru di atas kompetisi yang ada, biasanya dia sudah punya kartu as dan mengetahui kelemahan kompetitor.
Di sisi lain, menurut Karim, yang juga Founder Indonesia AI Innovation Challenge dan COO - PT. Terre Tech Nusantara itu, kehadiran DeepSeek juga membawa tantangan yang perlu diantisipasi, salah satunya adalah masalah keamanan data.
Sebagai produk China, DeepSeek tunduk pada regulasi pemerintah China yang ketat, yang mungkin menimbulkan kekhawatiran tentang privasi pengguna.
Amnesty International (2023) memperingatkan bahwa penggunaan teknologi China di luar negeri dapat menjadi alat untuk pengawasan dan pengumpulan data.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa penggunaan teknologi AI, seperti DeepSeek, tidak melanggar privasi warga negara.
Regulasi yang ketat dan transparan diperlukan untuk melindungi data pengguna, sekaligus memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk kepentingan publik.
Selain itu, kualitas dan keandalan DeepSeek masih perlu diuji dalam skala global. Meskipun unggul dalam hal bahasa dan harga, DeepSeek masih tertinggal dalam hal kreativitas dan kedalaman analisis dibandingkan dengan ChatGPT.
Dr. Fei-Fei Li, profesor Stanford University, menyebutkan bahwa AI China masih perlu meningkatkan kemampuan generatif dan adaptifnya untuk bersaing dengan produk AS.
Evaluasi mendalam
Bagi Indonesia, ini berarti perlu ada evaluasi mendalam sebelum mengadopsi DeepSeek secara luas.
Pemerintah dan pelaku industri harus bekerja sama untuk memastikan bahwa teknologi ini benar-benar dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam bidang AI agar dapat memanfaatkan teknologi ini secara optimal.
Pemerintah telah menyatakan akan membangun ekosistem digital yang inklusif dan berdaya saing, dengan fokus pada pengembangan SDM.
Pendidikan dan pelatihan di bidang AI harus menjadi prioritas, agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta teknologi.
Dengan SDM yang mumpuni, Indonesia dapat memanfaatkan DeepSeek dan teknologi AI lainnya untuk menciptakan solusi inovatif yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Dalam konteks global, persaingan antara DeepSeek dan AI buatan AS bukanlah tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana negara-negara, seperti Indonesia, dapat memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
DeepSeek, dengan kekuatan multibahasa dan harga kompetitifnya, menawarkan solusi AI yang relevan bagi kebutuhan Indonesia. Namun, kehadirannya juga mengingatkan bangsa ini akan pentingnya keamanan data dan pengembangan SDM.
Pada akhirnya, kehadiran DeepSeek sebagai pesaing AI buatan AS membawa angin segar bagi Indonesia.
Dengan memanfaatkan teknologi ini secara bijak, Indonesia dapat memacu pertumbuhan ekonomi digital, meningkatkan kualitas layanan publik, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Namun, semua ini harus dilakukan dengan kesadaran akan tantangan yang ada, serta komitmen untuk membangun ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam persaingan global AI, Indonesia memiliki peluang untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pemain yang aktif dan berkontribusi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perang AI ChatGPT vs DeepSeek dan peluang ekonomi bagi Indonesia