Nusa Dua (ANTARA GORONTALO) - Negara-negara pesisir Samudra Hindia kini
tengah menghadapi persoalan pelik oleh menipisnya cadangan ikan akibat
penangkapan berlebihan yang tidak berkelanjutan.
Padahal, ikan adalah sumber pangan utama bagi warga negara-negara
pesisir Samudra Hindia. Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia
(FAO), warga Indonesia, Bangladesh, Komoro dan Sri Langka menggantungkan
setengah dari protein harian mereka dari ikan.
Sementara negara pesisir lain seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand mendapatkan 20 persen protein hewani dari ikan.
Jika level penangkapan ikan saat ini masih terus dipertahankan,
terutama untuk jenis tuna, bukan tidak mungkin masyarakat negara-negara
pesisir harus mencari sumber protein hewani yang lain.
Demikian kritisnya cadangan ikan di Samudra Hindia sehingga
negara-negara yang tergabung komisi internasional untuk tuna
merekomendasikan agar intensitas penangkapan dikurangi sampai dengan 20
persen. Namun sebagian negara hanya mau menurunkannya ke level satu
sampai dua persen.
Ada satu hal lagi yang ironis dari situasi ini. Masyarakat
negara-negara pesisir Hindia adalah pihak yang pertama yang akan
menerima dampak kelangkaan ikan, namun lebih dari 50 persen penangkapan
tuna di wilayah ini dilakukan oleh negara-negara kaya yang jauh dari
Samudra Hindia seperti China, Jepang, dan Prancis.
Selain penangkapan berlebihan, cadangan ikan di Samudra Hindia juga
beresiko terdampak oleh pemanasan global dan meningkatnya emisi karbon
dioksida.
Laut telah menyerap 20 sampai 30 persen karbon dioksida dari udara
dan menyerap 90 persen tambahan suhu akibat pemanasan global. Menurut
direktur lembaga The Stimson Center untuk urusan keamanan lingkungan,
David Michel, dua faktor itu akan mempengaruhi secara signifikan
reproduksi ikan.
Tidak heran jika kemudian 21 anggora Asosiasi Negara-Negara Pesisir
Samudra Hindia (IORA) kini memprioritaskan persoalan manajemen
perikanan dalam rancangan awal norma-norma umum (concord) dan rencana aksi yang tengah dirundingkan pada tingkat menteri di Nusa Dua, Bali, pekan ini.
Norma-norma umum dan rencana aksi itu kemudian akan dirundingkan kembali di tingkat kepala negara tahun depan.
Apapun hasil akhirnya, kesepakatan itu akan menunjukkan kekuatan
politik IORA sebagai organisasi internasional yang relatif kurang
dikenal namun tengah berupaya menggeliat.
Ada setidaknya dua kemungkinan kesepakatan akhir norma-norma umum
kerja sama dan rencana aksi manajemen perikanan di antara negara-negara
pesisir Samudra Hindia.
Kemungkinan pertama, anggota IORA dalam rencana aksi mereka akan
sepakat untuk mengurangi intensitas penangkapan ikan di wilayah ini.
Jika demikian, maka IORA dengan sengaja mengabaikan persoalan hadirnya
kapal-kapal dari negara besar yang menangkapi ikan di Samudra Hindia
secara berlebihan.
Kemungkinan yang pertama ini akan membuat IORA nampak lemah di
hadapan negara-negara mitrawicara besar seperti Amerika Serikat dan
China. Sebagaimana yang terjadi dalam 20 tahun terakhir, IORA masih
tidak relevan di dunia internasional.
Yang kedua, IORA di bawah kepemimpinan Indonesia mungkin akan
mengeluarkan pernyataan tuntutan dan rencana aksi terstruktur yang bisa
memaksa negara-negara besar untuk turut berkontribusi dalam pemeliharaan
cadangan ikan.
Namun langkah ini bukannya tanpa tantangan. Selain masih relatif
belum banyak dikenal publik, sebagian negara-negara anggota IORA juga
masih sibuk dengan urusan internal seperti Yaman dan Somalia--dua negara
yang tengah dilanda perang saudara.
Jika demikian, dengan cara apa IORA bisa memaksa negara besar untuk
mengurangi penangkapan ikan? Inilah politik manajemen perikanan yang
akan dimainkan Kementerian Luar Negeri dalam setahun ke depan menjelang
konferensi tingkat tinggi IORA.
Nasib nelayan
Sisi lain yang harus dipertimbangkan oleh negara-negara pesisir
Samudra Hindia, dalam menyusun rencana aksi manajemen perikanan, adalah
nasib nelayan.
Di negara-negara ini, nelayan telah berkontribusi besar terhadap
perekonomian. Di Indonesia misalnya, FAO mencatat bahwa sektor perikanan
telah menyerap lebih dari enam juta atau lebih besar dari sektor-sektor
seperti tekstil yang banyak dibanggakan pejabat pemerintah. Soal
penyerapan tenaga kerja, perikanan hanya kalah dari pertanian.
FAO juga memperkirakan bahwa satu orang nelayan bisa menciptakan
empat lapangan pekerjaan bagi empat orang lainnya, yaitu sebagai pembuat
perahu, perawatan, dan pemrosesan ikan.
Indonesia, sebagai kepala IORA sampai 2017, harus mempertimbangkan
faktor ini dalam menyusun rencana aksi--sebuah dokumen turunan norma
umum ke dalam level konkret--yang akan diterapkan pada 2018 sampai 2021
mendatang.
Pertimbangan lain, kesepakatan internasional terkait laut yang ada
selama ini sebagian bukan merupakan pelajaran yang baik karena justru
meminggirkan nelayan.
Misalnya saja Coral Triangle Initiative (CTI)--kesepakatan enam
negara untuk melindungi terumbu karang di wilayah Asia Tenggara dan
Pasifik--yang melarang bukan saja nelayan besar, tetapi juga nelayan
kecil.
Contoh buruk yang lain bagi manajemen ikan adalah reklamasi yang
terjadi di hampir semua daerah di Indonesia, terutama Jakarta dan Bali.
Di Jakarta, ratusan nelayan harus kehilangan 50 persen pendapatan mereka
akibat pengurukan laut sementara wilayah tangkapan semakin
Meski reklamasi dan CTI tidak terkait langsung dengan perundingan
manajemen ikan di Samudra Hindia,, dua contoh buruk kebijakan domestik
dan internasional dari Indonesia tersebut bisa menurunkan kredibilitas
Jakarta dalam memperjuangkan kesepakatan bersejarah di IORA.
Politik perikanan Samudra Hindia, pertimbangan untuk IORA
Kamis, 27 Oktober 2016 12:58 WIB