Jakarta (ANTARA) - Kota Ho Chi Minh, Vietnam, meski tampak metropolis, nyatanya justru terasa ramah untuk rakyat kecil.
Denyut kehidupan ekonomi masyarakatnya bergerak berimbang. Orang mencari nafkah dengan usaha kelas gerobak masih terlihat terhormat di tengah gedung gedung tinggi. Mereka tidak terlihat menyimpan rasa takut dikejar aparat ketertiban.
Merek barang impor juga tak banyak mendominasi. Setidaknya warung makan kecil dengan bangga masih menjual jus jeruk dan sayuran segar dari petani.
Pedagang mereka seperti tahu, kalau semakin banyak barang impor yang mereka jual itu merugikan ekonomi negara dan jika tak menjual produk petani maka justru akan menciptakan lebih banyak pengangguran.
Bendera Bintang Merah dan lambang palu dan arit khas gerakan buruh dikibarkan dan ditempel di hampir semua tempat strategis yang mudah terlihat.
Pertanda mereka bangga sebagai bangsa penganut sistem Komunis Marxist-Leninist. Rupanya, lambang ideologi perlawanan terhadap kapitalisme itulah yang membuat mereka tetap kuat dan punya harga diri, hingga saat ini.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari hari di Ho Ci Minh, Penulis berbelanja ke minimarket setempat. Namanya Coopmart Cheers.
Rupanya itu merupakan jaringan minimarket yang menjadi bagian dari salah satu jaringan besar koperasi konsumen Saigon. Jaringan toko yang dimiliki oleh jutaan konsumen alias masyarakat secara langsung.
Sampai tahun 2023, jumlah toko minimarket dan toko makanan koperasi konsumen milik Koperasi Saigon di Vietnam ada sekitar 8000 toko.
Koperasi konsumen Saigon dikembangkan untuk berbagai segmen pasar. Khusus penyedia makanan namanya Coop Food. Coop Smile untuk Supermarket dan Coop EXTRA untuk Mall.
Jaringan koperasi konsumen mereka ini ternyata dikembangkan dengan mengadopsi dari model jaringan koperasi konsumen NTUC Fair Price (National Trade Union Cooperative) di Singapura.
Mereka bahkan menggunakan asistensi manajemen dari NTUC sehingga tak hanya modelnya yang mirip, tapi penamaan dan segmentasinya juga sama.
Seperti misalnya Cheers NTUC, NTUC Extra, NTUC SMILE, NTUC Fines. Jaringan toko yang juga dimiliki oleh jutaan warga Singapura.
Beda dengan Kapitalis
Sekilas, bagi orang Indonesia, toko-toko Coopmart di Vietnam dan NTUC Fair Price di Singapura itu mirip jaringan minimarket Alfamart atau Indomart di tanah air.
Faktanya, sama sekali berbeda. Beda tujuan dan beda cara kerjanya. Berkebalikan dampaknya bagi ekonomi rakyat.
Jaringan 50 ribuan toko swalayan ritel yang masif hingga sampai di gang gang kampung di seluruh Indonesia itu saham perusahaannya dimonopoli kepemilikanya oleh konglomerat, bukan rakyat banyak.
Sementara Coopmart dan NTUC Fair Price itu sahamnya dimiliki oleh jutaan warga Vietnam dan Singapura yang juga jadi konsumen mereka sekaligus.
Setiap konsumen, termasuk orang luar negeri yang tinggal di dua negara tersebut juga boleh menjadi pemilik saham jaringan toko dengan membayar lembar saham minimal. Tidak dimonopoli oleh satu keluarga.
Warga negara lain yang berkunjung, juga bisa jadi pemilik toko dengan cara menyetor paspor dan mengisi formulir serta membayar saham minimal sebesar 98 ribu Dong atau sekitar Rp75 ribuan.
Toko seperti Coopmart maupun NTUC itu dimiliki oleh anggotanya yang jumlahnya jutaan orang. Setiap orang memiliki hak suara yang sama dalam mengambil keputusan di koperasinya.
Setiap orang juga punya hak suara yang sama untuk memilih atau dipilih sebagai anggota direksi atau pengurus koperasi.
Praktik demokrasi di koperasi ternyata bukan masalah dalam menciptakan profesionalitas layanan, tapi justru banyak memberikan kekuatan. Koperasi ternyata berjalan lancar dalam pelayanan dan tidak terganggu oleh demokrasi.
Sistem pembagian keuntungan dari jaringan toko itu juga unik. Tidak hanya dibagi berdasarkan besaran modal yang kita tanam di koperasi, tapi juga dibagi berdasarkan besarnya belanja anggota.
Siapa yang belanja di koperasi lebih banyak akan mendapat keuntungan lebih banyak. Semua transaksi terekam atas nama individu pemilik yang juga konsumen dengan baik.
Coopmart dan NTUC tak hanya memberikan bukti bahwa koperasi yang mempraktikkan konsep demokrasi ekonomi itu dapat berjalan.
Sesungguhnya tujuan dari jaringan toko ini bukan untuk mengejar keuntungan, tapi untuk memberikan manfaat bagi banyak orang. Ingin mengganti rezim profit oriented dengan sistem benefit yang membagi kekayaan dan pendapatan secara adil.
Tak hanya itu, ketika konsumen berbelanja barang di outlet dua koperasi di atas, akan banyak sekali barang yang diberikan private label, merek eksklusif yang dimiliki oleh koperasi pada ribuan jenis barang dengan merek bernama COOP.
Ini artinya barang tersebut bermakna bahwa barang telah dikurasi koperasi, atau dimiliki dan dikembangkan koperasi.
Dikurasi maksudnya ditambahkan supervisi atau terkontrol kualitasnya, dijamin tingkat keadilan harganya, dan lain-lain. Jika dimiliki berarti juga konsumennya turut mendapat bagian keuntungan dari pabrik pembuatnya.
Coopmart telah mempraktikkan ekonomi mampu bertumbuh secara adil, tidak memperkaya segelintir orang pemilik saham besar semata.
Cita-cita bangsa, negara yang adil dan makmur ternyata lebih mudah diwujudkan melalui cara koperasi serupa ini. Sesuatu yang sewajarnya juga bisa diwujudkan di Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Belajar dari Coopmart, jaringan toko antikapitalis di Vietnam