Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan terus mengkaji pemberian insentif untuk semua jenis kendaraan yang tak hanya menyasar mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV), namun mobil dengan teknologi lain mulai dari hybrid hingga hidrogen.
"Perlu diingat, kami tidak merumuskan sendiri pemberian insentif, melainkan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan,” ujar Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono, di Jakarta, Senin.
Dia menyampaikan, pemerintah terus mengakselerasi transformasi industri otomotif nasional menuju era elektrifikasi melalui kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal. Pihaknya telah menerbitkan berbagai regulasi strategis untuk mendukung target net zero emission (NZE).
Salah satu instrumen kunci, kata dia lagi, adalah penguatan regulasi yang mewajibkan pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam proses produksi kendaraan bermotor.
“Melalui regulatory framework yang telah disusun, industri KBM yang memenuhi ketentuan local purchase dan TKDN dapat memperoleh insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Ini menjadi langkah strategis dalam menciptakan industri otomotif yang mandiri dan berdaya saing,” ujar dia.
Sebagai bentuk dukungan konkret, dia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan program insentif perpajakan bagi perusahaan yang menunjukkan komitmen investasi di Indonesia.
Bentuk insentif tersebut meliputi pembebasan bea masuk (BM) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) untuk kendaraan listrik completely built up (CBU), insentif BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik completely knocked down (CKD) dengan TKDN yang masih berada di bawah ketentuan roadmap, guna mendorong percepatan realisasi investasi sambil menjaga kelangsungan industri lokal.
Selain kendaraan listrik, industri otomotif yang memproduksi kendaraan hybrid dan tergabung dalam program low carbon emission vehicle (LCEV) juga mendapatkan insentif PPnBM DTP sebesar 3 persen, sebagai bentuk dukungan terhadap transisi bertahap menuju teknologi kendaraan yang lebih bersih.
Tunggul menegaskan, insentif-insentif ini merupakan stimulus penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional yang terintegrasi, dari hulu ke hilir.
Dia menyatakan, insentif BEV CBU akan berakhir tahun 2025, sedangkan CKD akan dievaluasi.
“Kami percaya, dengan sinergi regulasi, insentif, dan investasi, Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri kendaraan masa depan,” kata dia lagi.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mendukung evaluasi insentif otomotif demi memajukan industri nasional.
Dalam jangka pendek, pemerintah bisa mengucurkan insentif pajak ke semua teknologi, mengingat porsi komponen ke harga mobil saat ini sangat tinggi, sekitar 50 persen.
Dengan pemberian insentif, total penjualan mobil bisa meningkat, bahkan menyentuh titik optimal 3 juta unit per tahun, setara dengan Meksiko. Hitungan ini berdasarkan rata-rata penjualan mobil bekas per tahun yang mencapai 2 juta unit. Artinya, jika jumlah itu dialihkan ke mobil baru, penjualan bisa mencapai 3 juta unit.
Dia mengakui, saat memberikan insentif, penerimanya negara bisa berkurang. Tetapi, ini akan ternormalisasi, begitu pasar mobil pulih.
Hal tak kalah penting, menurut Kukuh, mobil hybrid juga menjadi bagian mobil elektrifikasi. Mobil ICE tidak bisa dikesampingkan, lantaran masih menjadi pilar industri mobil.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Riyanto menyatakan pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan. Contohnya, dengan model regresi, penjualan BEV yang mendapatkan insentif 57 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak.
Oleh sebab itu, dia mengatakan, waktunya pemerintah memperluas insentif pajak, seperti PPN DTP ke mobil ICE, LCGC, hingga hybrid, dengan patokan emisi. Sebab, faktanya, emisi BEV berdasarkan metode well to wheel tidak lebih rendah dari hybrid.
Dia yakin, efek insentif LCGC, HEV, dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV. Saat ini, BEV menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Hal itu, kata dia, membuat BEV lebih diburu pemilik mobil kedua dan ketiga, bukan mobil pertama. Sebaliknya, mobil ICE, LCGC, dan HEV berpeluang menjadi mobil pertama, karena tak menghadapi tantangan tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemerintah terus kaji pemberian insentif untuk semua jenis kendaraan