Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian
Keuangan masih mengkaji penetapan tarif bea keluar untuk ekspor
konsentrat atau mineral mentah yang terbaru, sesuai permintaan
Kementerian ESDM.
"Secepat mungkin (selesainya). Maksimal 10 persen. Masih
didiskusikan lagi layer-nya seperti apa," kata Kepala BKF Suahasil
Nazara di Jakarta, Rabu.
Suahasil belum mau mengungkapkan skema terbaru penghitungan bea
keluar tersebut, namun dipastikan tarif pungutan itu masih mendukung
proses hilirisasi bahan tambang di Indonesia.
"Sekarang ada diskusi baru, kita mencari layer-nya seperti apa,
tahap-tahap kemajuan seperti apa yang bisa mendorong secepat mungkin
proses pemurnian itu berjalan," katanya.
Sebelumnya, penetapan bea keluar untuk ekspor bahan mineral mentah
disesuaikan dengan kemajuan pembangunan smelter atau fasilitas
pengolahan yang dilakukan perusahaan tambang.
Untuk kemajuan fisik smelter nol hingga 7,5 persen, tarif bea
keluar yang dikenakan 7,5 persen. Untuk kemajuan fisik 7,5 persen hingga
30 persen, tarif bea keluar yang dipungut lima persen. Untuk kemajuan
fisik diatas 30 persen, maka bebas tarif bea keluar.
Menteri ESDM Ignasius Jonan pada Kamis (13/1) mengusulkan kepada
Kementerian Keuangan untuk menetapkan tarif bea keluar untuk ekspor
konsentrat atau mineral mentah pada kisaran 10 persen.
"Tetap ada biaya keluar, kami usulkan maksimum paling tidak 10
persen, asalkan ekspor konsentrat sesuai aturan berlaku," kata Jonan
ketika menggelar jumpa pers di Kementerian ESDM.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun
2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Dengan revisi tersebut, perusahaan tambang tetap dapat melakukan
ekspor konsentrat, hanya saja harus mengubah perizinan dari kontrak
karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
BKF masih kaji penetapan tarif bea keluar
Rabu, 18 Januari 2017 22:02 WIB