Semarang (ANTARA GORONTALO) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Semarang,
Jawa Tengah menyatakan tidak setuju dengan rencana program lima hari
sekolah karena mengancam keberadaan lembaga pendidikan agama nonformal.
"Selama
ini, lembaga pendidikan agama Islam ini lah yang mampu menjadikan
perubahan karakter bangsa dengan baik," kata anggota Komisi Pendidikan
MUI Kota Semarang M Rikza Chamami di Semarang, Senin.
Menurut dia, lima hari sekolah tidak akan bermakna sebagai
pendidikan karakter jika berakibat gulung tikarnya madrasah diniyah,
taman pendidikan Alquran (TPQ), dan pondok pesantren.
Tentunya, kata dia, pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan harus berkoordinasi lintas kementerian mengenai penerapan
kebijakannya, termasuk lima hari sekolah.
"Jangan sampai ada niat mematikan lembaga pendidikan. Hasilnya akan
menjadi tidak baik," kata pengajar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu.
Niat baik membangun pendidikan karakter, kata dia, jangan sampai
ternodai dengan cara-cara yang kurang baik, seperti mengakibatkan
tutupnya lembaga pendidikan agama yang bersifat nonformal.
"Lebih baik tetap enam hari sekolah dengan menata pola pendidikan
karakter yang lebih baik, seperti model pesantren, di antaranya
penanaman tata krama atau sopan santun," kata Rikza.
Sementara itu, Ketua MUI Kota Semarang Prof Erfan Soebahar
menegaskan umat Islam perlu diberikan solusi terbaik mengenai kebijakan
jam sekolah yang bisa melegakan semua pihak.
"Artinya, yang paling utama perlu diperhatikan adalah pemanfaatan
waktu sehat dan porsi waktu mingguan dalam mencari ilmu," kata Guru
Besar UIN Walisongo Semarang tersebut.
Kebijakan lima hari sekolah yang mengharuskan siswa dari pagi
hingga sore di sekolah, kata dia, harus dikaji secara serius dan jangan
sampai menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
"Butuh kerja sama yang baik antara pendidik dan peserta didik agar
ruang pembelajaran bisa kondusif. Penataan waktu sekolah tidak hanya
memikirkan siswa perkotaan, tetapi juga pelosok desa," katanya.
Diakuinya, siswa memang perlu diberikan solusi waktu belajar sesuai
kemampuan, disertai dengan variasi-variasi pengajaran agar tidak bosan
yang tidak harus dalam lima hari sekolah.
"Kalau memang kebijakan lima hari sekolah berpotensi menutup
lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah diniyah, TPQ, dan ponpes,
sebaiknya tidak dilanjutkan," katanya.
MUI Semarang tak setuju lima hari sekolah
Selasa, 25 Juli 2017 12:45 WIB