Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi
putusan Hakim Tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak
permohonan praperadilan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung terkait kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Putusan ini tentu dapat kami pandang berkontribusi terhadap upaya
pengungkapan kasus BLBI," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di
Jakarta, Rabu.
Febri menyatakan putusan itu memperkuat langkah KPK dalam
penyidikan terkait dengan indikasi penyimpangan dalam penerbitan Surat
Keterangan Lunas (SKL) terhadap salah satu obligor BLBI padahal masih
ada kewajiban Rp3,7 triliun.
"Saat ini, KPK fokus di tataran implementasi kebijakan, yaitu
mengusut penyimpangan yang terjadi dalam penerbitan SKL tersebut.
Serangkaian kegiatan penyidikan akan kami lakukan setelah ini," kata
Febri.
Selain itu, kata dia, pihak yang terkait termasuk obligor
diingatkan untuk kooperatif dalam proses hukum kasus BLBI tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Effendi
Mukhtar menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap
mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin
Arsyad Tumenggung sudah sesuai prosedur.
Hal tersebut merupakan salah satu pertimbangan Hakim Tunggal
Effendi Mukhtar untuk menolak seluruh permohonan praperadilan yang
diajukan Syafruddin Arsyad Tumenggung itu.
"Hakim praperadilan berpendapat bahwa prosedur penetapan tersangka
yang dilakukan termohon sudah mememuhi bukti permulaan yang cukup, yaitu
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang mengacu kepada Pasal 184 KUHAP,"
kata Hakim Tunggal Effendi Mukhtar saat pembacaan putusan praperadilan
Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu.
Hakim Effendi menyatakan bahwa bukti-bukti dari adanya keterangan
saksi, keterangan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dan alat
bukti surat sudah memenuhi sahnya penetapan tersangka tersebut.
"Sehingga penetapan tersangka terhadap diri pemohon sudah sah dan
berdasarkan hukum sehingga petitum pemohon yang menyatakan penyelidikan
dan penyidikan yang dilakukan termohon adalah tidak sah adalah tidak
beralasan sehingga harus ditolak," kata Hakim Effendi.
Selanjutnya, Hakim Effendi menyatakan bahwa karena petitum utama
yaitu menyatakan tindakan termohon telah menetapkan pemohon sebagai
tersangka adalah tidak sah telah ditolak maka permintaan permohon
lainnya tidak mengikat dan juga harus ditolak seluruhnya.
Kemudian pertimbangan Hakim Effendi menyatakan bahwa KPK masih
berwenang dalam penuntutan kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad
Tumenggung karena belum daluwarsa sesuai Pasal 78 KUHP.
Tindak pidana yang didakwakan kepada pemohon adalah melanggar
ketentuan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sesuai Pasal 78 KUHP, Hakim berpendapat penuntutan kasus
Syafruddin adalah 18 tahun terhitung setelah dilakukannya tindak pidana
terhadap yang bersangkutan.
"Tindak pidana yang diduga dilakukan oleh pemohon daluwarsa
dihitung 27 April 2004, maka daluwarsa kasus itu 27 April 2022. Pemohon
ditetapkan tersangka pada 20 Maret 2017 maka belum dapat dikategorikan
daluwarsa," ucap Hakim Effendi.
Terkait hal tersebut, Hakim Effendi juga sependapat dengan
kesaksian dari ahli Hukum Pidana Adnan Paslydja yang dihadirkan KPK pada
sidang praperadilan itu.
KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad
Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8
Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang
telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor
yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono,
Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri
BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban
pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan
sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban
Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham
atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari
pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun
dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7
triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya
ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan
menjadi kerugian negara.
KPK apresiasi hakim tolak praperadilan Syafruddin Tumenggung
Rabu, 2 Agustus 2017 23:19 WIB