Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Rencana pemerintah untuk menurunkan suku
bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada tahun depan dinilai positif.
Rencana ini diharapkan bisa menjadi stimulus untuk pertumbuhan
perekonomian pada masyarakat lapisan bawah sekaligus juga mendukung
tumbuhnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Secara
sederhana, semakin rendah tingkat suku bunga, maka tingkat pengembalian
ke bank maupun lembaga penyalur KUR pun semakin kecil. Efek lain yang
berpotensi timbul adalah langkah ini akan semakin meningkatkan jumlah
pelaku UMKM," kata pemerhati ekonomi dari Indosterling Capital, William
Henley.
Pernyataan William ini berkaitan dengan
rencana Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk
menurunkan suku bunga KUR menjadi 7,0 persen efektif per tahun atau
turun 2 persen dari bunga yang berlaku pada tahun ini. Menurut dia,
penurunan suku bunga ini sangat sejalan dengan pidato Presiden Joko
Widodo pada peringatan HUT Kemerdekaan ke-72 RI yang menyatakan
penyaluran KUR menjadi instrumen dalam merangsang perekonomian di
masyarakat lapisan bawah.
Berdasarkan data
resmi pemerintah dari Kemenkop-UKM dan Badan Pusat Statistik, William
mengungkap, hingga kini jumlah pelaku UMKM sudah hampir mendekati 60
juta. Perinciannya 59.267.759 unit usaha mikro atau sekitar 99 persen,
usaha kecil sebanyak 681.522 unit atau 1,15 persen, usaha menengah
sebanyak 59.263 unit atau 0,10 persen, dan usaha besar sebanyak 4.987
unit atau 0,1 persen.
Namun, pria yang akrab
disapa William Botax ini menyatakan, langkah penurunan suku bunga ini
belum serta merta akan efektif menjangkau seluruh pelaku UMKM. Masalah
penyaluran KUR kepada pelaku UMKM, kata dia, tidak hanya soal suku
bunga. "Ada masalah yang jauh lebih penting dan hingga sekarang masih
mereka temui. Masalah-masalah ini yang harus diatasi pemerintah,
tentunya beserta bank dan lembaga penyalur KUR," ujarnya.
William
menyebut masalah serius yang patut disikapi adalah persyaratan berupa
penyertaan agunan. Ia menyadari bahwa pelaku UMKM identik dengan
kualitas usaha yang tidak bankable. Namun, lanjutnya, hal ini jelas
bertentangan dengan praktik pelaksanaan KUR di masyarakat. "Masih saja
pelaku UMKM ini diminta untuk menyertakan agunan. Tampak jelas ada
ketakutan bank yang diberi amanah pemerintah menyalurkan KUR," ujarnya
dalam rilisnya, Selasa.
Padahal berdasarkan
fakta lapangan, ia menemukan rasio kredit bermasalah KUR itu amat sangat
rendah. Sebagai gambaran pada tahun lalu, rasionya hanya 0,37 persen.
Sedangkan rasio kredit bermasalah perbankan secara umum mencapai 3,1
persen.
"Untuk mengatasi masalah semacam ini
tidaklah sulit. Perbankan bisa dengan cermat mempelajari model bisnis
yang diusung pelaku UMKM beserta prospek ke depan. Jika ini dilakukan
dengan cermat, niscaya kredit macet jauh panggang dari api," paparnya.