Mingora, Pakistan (Antaranews Gorontalo) - Di kampung halaman peraih Hadiah Nobel Perdamaian Malala Yousafzai di Pakistan, banyak pengingat putri Lembah Swat yang selamat dari tembakan itu, demikian pula dengan kenangan pemerintahan keras Taliban.
Yousafzai mengunjungi Pakistan untuk pertama kalinya sejak Taliban Pakistan, yang sekarang dalam pelarian namun masih bisa melancarkan serangan, menembak kepalanya pada 2012 karena kegiatan advokasinya untuk pendidikan anak perempuan.
Sampai Jumat malam belum jelas apakah aparat keamanan akan mengizinkan Yousafzai kembali ke Lembah Swat, namun banyak yang menantikan kedatangannya.
"Kami senang Malala datang ke Pakistan. Kami menyambut Malala," kata Arfa Akhtar, murid kelas tiga di sekolah tempat Yousafzai pernah belajar.
"Saya juga Malala. Saya bersama Malala dalam misi ini," katanya sebagaimana dikutip Reuters.
Sementara Barkat Ali (66) mengenang masa ketika dia memangku Malala kecil di Mingora. Dia bangga perjuangan perempuan 20 tahun itu mengampanyekan pendidikan untuk anak perempuan, sebangga dia 10 tahun lalu menyerahkan anak lelakinya ketika Taliban merekrut petempur baru.
"Mereka orang tua buta huruf yang akan mengatakan putri-putri kami tidak akan ke sekolah," kata Ali, mengenang dua cangkang mortar yang mendarat di jalanannya yang sering dilewati patroli Taliban.
"Sekarang orang bijaksana. Mereka mendidik anak-anak perempuan mereka."
Taliban Pakistan mengambil alih banyak area lembah itu mulai 2007, melarang pendidikan untuk anak-anak perempuan, membunuh orang-orang, mendera perempuan dan menggantung orang di tiang listrik untuk memaksakan interpretasi mereka tentang hukum Islam sebelum militer Pakistan mengusir mereka keluar pada 2009.
Namun tidak semua orang di Swat mendapat kehormatan seperti Yousafzai, yang menjadi penerima Hadiah Nobel termuda dalam sejarah pada usia 17 tahun pada 2014.
Warga Swat Mohammad Nisar Khan mengatakan selebritas internasional dan perlindungan aparat yang diberikan kepada perempuan muda itu membayangi pengorbanan orang-orang yang lain di Swat.
"Kami yang berdiri melawan Taliban... Empat paman dan dua sepupu saya dibantai Taliban di Matta. Mereka dianiaya secara brutal. Tapi tidak ada yang bertanya tentang saya," kata Khan.
"Adakah seseorang yang bisa menunjukkan kepada saya satu keberanian yang telah dilakukan Malala Yousafzai... yang tidak kami lakukan pada usia 50 tahun?"
Di bagian lain Pakistan, kedatangannya berhadapan dengan kebencian dari mereka yang menuduh dia membangun karir di luar negeri dengan menggambarkan keburukan negerinya.
Di bagian timur kota Lahore, sekelompok murid dan guru sekolah swasta menggelar aksi protes meneriakkan "Saya bukan Malala", beberapa di antaranya mengenakan ikat tangan hitam.
Penyelenggara protes, Kashif Mirza, mengatakan puluhan jaringan sekolah swasta berpartisipasi dan para guru memberitahu murid-murid di kelas "bahwa Malala tidak mewakili Pakistan yang sejati."
"Dia memfitnah Pakistan, Islam dan tentara Pakistan setelah ke luar negeri," kata Mirza, yang memimpin President of All Pakistan Private Schools Federation.
Dia mengatakan kelompoknya mengecam serangan bersenjata terhadap Yousafzai namun mengatakan bahwa sejak ke luar negeri dia terpengaruh kekuatan asing.
Meski demikian sekolah-sekolah swasta yang lain menolak bergabung dengan aksi protes anti-Malala.
"Kegiatan yang demikian tidak dilakukan di cabang-cabang kami, karena kami tidak mendukung acara yang menyebarkan kebencian semacam itu," kata Tabraiz Bokhari, juru bicara Beacon House School System, yang punya 200 afiliasi di seluruh Pakistan.
Selama sembilan tahun sejak militer mengusir keluar Taliban, Swat umumnya menjadi damai meski kadang masih menghadapi serangan militan, termasuk satu serangan beberapa pekan lalu yang menyasar militer.
Banyak warga Swat, termasuk sahabat keluarga Jawad Iqbal, berharap Malala bisa mampir dalam perjalanannya kali ini.
"Orang-orang Swat dan seluruh Pakistan bersama Malala," kata Iqbal, berdiri di depan potret Yousafzai dengan ayahnya yang seorang guru.
"InsyaAllah kami akan bisa mengatasi terorisme dan ekstremisme di daerah kami dengan senjata pendidikan, dengan senjata pena, dengan senjata para guru, dan dengan senjata buku-buku."
Di sepanjang jalan tempat Malala ditembak di bus sekolah, Amir Zeb juga berharap Malala mengunjungi kampung halamannya.
"Malala Yousafzai adalah putri Pakistan," katanya, menambahkan,"Kami bangga padanya."
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian Malala Yousafzai
Sabtu, 31 Maret 2018 16:27 WIB