CGTN: Tiongkok Susun Rencana Ekonomi 2025, Bertekad Terapkan Kebijakan Makro yang Lebih Proaktif

CGTN: Tiongkok Susun Rencana Ekonomi 2025, Bertekad Terapkan Kebijakan Makro yang Lebih Proaktif

CGTN: Tiongkok Susun Rencana Ekonomi 2025, Bertekad Terapkan Kebijakan Makro yang Lebih Proaktif

Beijing, (ANTARA/PRNewswire)- Rapat Kerja Ekonomi Tingkat Pusat yang dicermati berbagai orang berlangsung di Beijing pada Rabu-Kamis lalu. Di rapat ini, para pemimpin Tiongkok menentukan prioritas program ekonomi pada 2025. 

Xi Jinping, Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, Presiden Tiongkok, dan Ketua Komisi Militer Pusat, menyampaikan pidato penting dalam rapat tahunan ini.

Menurut agenda pembahasan rapat ini, terlepas dari "kondisi kompleks dan parah akibat tekanan eksternal dan kesulitan internal yang kian tinggi", Tiongkok telah menjamin stabilitas dan kemajuan ekonomi. Di sisi lain, target dan tugas utama dalam pembangunan ekonomi dan sosial pada 2024 segera tercapai.

Rapat ini menegaskan, Tiongkok harus mengambil kebijakan makro yang lebih proaktif, meningkatkan permintaan domestik, mempromosikan pengembangan inovasi sains dan teknologi, serta inovasi industri secara terintegrasi demi kesuksesan program ekonomi pada 2025.

Sejumlah langkah juga harus ditempuh Tiongkok guna menjamin stabilitas pasar real estat dan pasar modal, melindungi dan mengatasi risiko serta guncangan eksternal di sejumlah bidang penting, sekaligus menyeimbangkan ekspektasi dan mendorong vitalitas agar pemulihan ekonomi terus berlanjut, seperti dibahas dalam rapat tersebut.

Dari kebijakan fiskal menuju kebijakan moneter

Menurut pembahasan rapat tersebut, Tiongkok juga akan mengambil kebijakan fiskal yang "lebih proaktif", termasuk meningkatkan rasio defisit dan penerbitan surat utang negara khusus dengan jangka waktu yang sangat lama, serta surat utang pemerintah lokal untuk tujuan khusus.

Rasio utang dan PDB Tiongkok, menurut Kementerian Keuangan Tiongkok, tercatat 67,5% pada akhir 2023, jauh lebih rendah dari rasio utang dan PDB negara G20 yang mencapai 118,2%, serta negara G7 sebesar 123,4%, menurut estimasi International Monetary Fund (IMF). Defisit fiskal Tiongkok juga telah lama bertahan di bawah 3%, jauh lebih rendah ketimbang negara-negara besar lain.

Dengan rasio utang pemerintah yang rendah, anggaran pemerintah pusat Tiongkok berpeluang meningkatkan nilai utang dan defisit, seperti dijelaskan Menteri Keuangan Tiongkok Lan Fo'an, Oktober lalu.

Menurut Rapat Kerja Ekonomi Tingkat Pusat, Tiongkok akan menerapkan kebijakan moneter yang "agak longgar", serta menurunkan rasio kecukupan modal dan suku bunga, jika diperlukan, demi menjamin likuiditas yang memadai.

Untuk pertama kalinya, kebijakan moneter Tiongkok beralih dari "berhati-hati" menjadi "agak longgar" sejak 2011.

Sejak awal 2024, Bank Rakyat Tiongkok, bank sentral, telah dua kali memangkas rasio kecukupan modal lembaga keuangan sebesar 1 poin persentase secara keseluruhan, serta meluncurkan likuiditas jangka panjang sekitar RMB 2 triliun (sekitar $274,8 miliar).

Mulai dari permintaan domestik hingga kebijakan pintu terbuka

Rapat Kerja Ekonomi Tingkat Pusat juga menyusun prioritas program ekonomi pada 2025 dalam sembilan aspek, mulai dari merangsang konsumsi dan mengembangkan kekuatan produktif bermutu yang baru demi mencegah dan meredam risiko di sejumlah bidang penting, memperkuat pencapaian pengentasan kemiskinan, serta menggencarkan pembangunan hijau.

Rapat ini pun menegaskan pentingnya langkah untuk meningkatkan konsumsi, efisiensi investasi, serta permintaan domestik secara total.

Tiongkok tetap menjadi salah satu pasar terbesar di dunia. Pada Januari-Oktober tahun ini, nilai penjualan ritel barang-barang konsumsi nasional mendekati RMB 40 triliun, sedangkan nilai tahun lalu menembus RMB 47 triliun, menurut Biro Statistik Nasional.

Sebuah program nasional juga dilansir pada Maret lalu untuk meningkatkan nilai jual-beli barang-barang konsumen. Program ini turut merealisasikan potensi tersembunyi dari permintaan domestik Tiongkok. Lebih dari 30 juta peserta program telah bergabung, serta menghasilkan kontribusi penjualan senilai lebih dari RMB 400 miliar.

Rapat selama dua hari ini juga mendorong langkah-langkah lain untuk terus meningkatkan kebijakan pintu terbuka, serta memfasilitasi pertumbuhan perdagangan luar negeri dan investasi asing.

"Pembangunan Tiongkok bersifat terbuka dan inklusif," ujar Xi saat bertemu dengan para pemimpin organisasi ekonomi internasional, termasuk IMF, di Beijing, Selasa lalu, satu hari sebelum rapat tahunan tersebut.

Tiongkok akan membangun sebuah sistem ekonomi terbuka yang baru dan berstandar lebih tinggi, menghadirkan semakin banyak peluang pertumbuhan untuk negara-negara lain, serta membagikan buah pembangunan dengan dunia, seperti dijelaskan Xi kepada para pemimpin tersebut di Aula Rakyat Tiongkok.

Mulai 1 Desember, Tiongkok telah membebaskan bea masuk untuk seluruh kategori barang yang berasal dari negara-negara paling tertinggal yang menjalin hubungan diplomatik.

Kebijakan ini akan mendorong semakin banyak produk dari negara-negara tersebut memasuki pasar Tiongkok, berbagi peluang dan menggerakkan pertumbuhan, seperti dipaparkan Lyu Daliang, seorang pejabat Kepabeanan Tiongkok.


SOURCE CGTN
Pewarta : PR Wire
Editor: PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2024