Terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap siswa di Gorontalo, Jejaring Aktivis Perempuan dan Anak (Jejak Puan) Provinsi Gorontalo mengatakan bahwa pelaku dapat dijerat dengan sejumlah Undang-undang (UU) karena statusnya sebagai pendidik.
Direktur Lembaga Riset Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo Hijrah Lahaling di Gorontalo, Minggu mengatakan guru pelaku kekerasan seksual kepada siswanya dapat dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 mulai dari Pasal 81 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pada Pasal 81 ayat 1 UU Perlindungan Anak, ketentuan pidana berlaku bagi setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
"Sementara pada Pasal 81 ayat 3 dalam hal tindak pidana itu dilakukan orangtua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka hukumannya ditambah sepertiga dari ancaman pidana yaitu 15 tahun paling lama. Dapat juga dijerat dengan Pasal 82 karena membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul," katanya.
Pidana lain yang bisa menjerat pelaku adalah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 4 ayat 2 huruf c, dimana tindak kekerasan seksual juga meliputi persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak.
"Jeratan hukum lainnya yang dapat digunakan adalah Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbaru yaitu Nomor 1 Tahun 2023. Bahkan juga ada Undang-undang guru dan dosen karena pelaku adalah seorang guru," katanya.
Menurut Hijrah, sanksi hukuman yang paling berat untuk pelaku ada dalam UU Perlindungan anak, yakni penjara paling lama 15 tahun dengan denda lima miliar rupiah.
"Modus pelaku bisa apa saja, tapi intinya ada relasi kuasa di sana karena korbannya adalah anak atau siswa. Guru tersebut menyalahgunakan kewenangan-nya dan menciptakan modus asmara untuk memanipulasi anak," katanya pula.
Ia menegaskan alasan dasar suka sama suka tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum.
"Semua pihak khususnya masyarakat dan penegak hukum, tidak bisa hanya melihat dari sisi adegan dalam video yang ramai tersebut, kemudian langsung menyimpulkan bahwa perbuatan asusila itu terjadi atas dasar suka sama suka. Seandainya pun korban yang menginginkan perbuatan itu, tetapi ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum pendidik terhadap anak," kata dia.
Hijrah juga mengingatkan, dalam Undang-undang Dasar 1945 yang tertinggi diantara peraturan lainnya, disebutkan di Pasal 28 B ayat (2) bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan.
"Atas dasar itu, tidak benar jika anak yang menjadi korban justru dikeluarkan dari sekolah. Kami berharap pihak sekolah melakukan upaya maksimal untuk membantu dan memberi dukungan bagi korban," imbuhnya.***
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024
Direktur Lembaga Riset Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo Hijrah Lahaling di Gorontalo, Minggu mengatakan guru pelaku kekerasan seksual kepada siswanya dapat dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 mulai dari Pasal 81 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pada Pasal 81 ayat 1 UU Perlindungan Anak, ketentuan pidana berlaku bagi setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
"Sementara pada Pasal 81 ayat 3 dalam hal tindak pidana itu dilakukan orangtua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka hukumannya ditambah sepertiga dari ancaman pidana yaitu 15 tahun paling lama. Dapat juga dijerat dengan Pasal 82 karena membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul," katanya.
Pidana lain yang bisa menjerat pelaku adalah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 4 ayat 2 huruf c, dimana tindak kekerasan seksual juga meliputi persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak.
"Jeratan hukum lainnya yang dapat digunakan adalah Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbaru yaitu Nomor 1 Tahun 2023. Bahkan juga ada Undang-undang guru dan dosen karena pelaku adalah seorang guru," katanya.
Menurut Hijrah, sanksi hukuman yang paling berat untuk pelaku ada dalam UU Perlindungan anak, yakni penjara paling lama 15 tahun dengan denda lima miliar rupiah.
"Modus pelaku bisa apa saja, tapi intinya ada relasi kuasa di sana karena korbannya adalah anak atau siswa. Guru tersebut menyalahgunakan kewenangan-nya dan menciptakan modus asmara untuk memanipulasi anak," katanya pula.
Ia menegaskan alasan dasar suka sama suka tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum.
"Semua pihak khususnya masyarakat dan penegak hukum, tidak bisa hanya melihat dari sisi adegan dalam video yang ramai tersebut, kemudian langsung menyimpulkan bahwa perbuatan asusila itu terjadi atas dasar suka sama suka. Seandainya pun korban yang menginginkan perbuatan itu, tetapi ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum pendidik terhadap anak," kata dia.
Hijrah juga mengingatkan, dalam Undang-undang Dasar 1945 yang tertinggi diantara peraturan lainnya, disebutkan di Pasal 28 B ayat (2) bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan.
"Atas dasar itu, tidak benar jika anak yang menjadi korban justru dikeluarkan dari sekolah. Kami berharap pihak sekolah melakukan upaya maksimal untuk membantu dan memberi dukungan bagi korban," imbuhnya.***
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024