Jakarta (ANTARA) - Survei dari Indonesia Political Opinion (IPO) menyebutkan sebanyak 94 persen responden ingin agar sekolah kembali dibuka dan setuju dengan kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
“Mayoritas publik inginkan sekolah kembali dibuka, hanya enam persen yang menyatakan tidak setuju, sebanyak 94 persennya setuju. Jika pemerintah izinkan pabrik beroperasi dengan ribuan karyawan, pusat perbelanjaan yang juga dengan keramaian, maka seharusnya lebih mudah lakukan kontrol di sekolah,” ujar Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Survei IPO dilakukan pada 20 Maret hingga 30 Maret 2021 dengan metode pengambilan sampel multistage random sampling (MRS), dengan melibatkan 1200 responden tersebar proporsional seluruh Indonesia. Keabsahan data dilakukan dengan wawancara ulang melalui telepon terhadap 15 persen dari total responden. Sementara batas kesalahan (sampling error) 2,50 persen dengan tingkat akurasi 97 persen.
Hasil survei juga menunjukkan sebanyak 64 persen responden tidak setuju dengan penutupan sekolah. Hanya 36 persen responden yang menyatakan setuju dengan kebijakan penutupan sekolah selama ini.
“Kami menguji kebijakan penutupan sekolah yang sudah berjalan sekira setahun ini, hanya 36 persen yang memberi dukungan, dan 64 persen menyatakan tidak setuju dengan kebijakan penutupan. Padahal kebijakan itu muncul saat pandemi,” kata dia.
Dedi menjelaskan, kebijakan penutupan sekolah sejak awal tidak sepenuhnya mendapat respon positif yang dominan. Hal ini ia sebut dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya kebijakan lain yang tidak mendukung.
Penyebabnya, tidak sedikit orang tua siswa yang tetap bekerja, terutama di daerah yang banyak industrinya, yang mana harus meninggalkan rumah untuk datang ke pabrik, sehingga tidak dapat mendampingi pembelajaran di rumah.
Pengamat Pendidikan Bukik Setiawan mengatakan, sebaiknya PJJ dan tatap muka dilakukan bersamaan. Hal ini karena murid, guru dan orang tua tetap butuh untuk tatap muka karena sudah kelelahan dengan PJJ secara penuh.
"Saya melihat bahwa bukan hanya murid, bukan hanya orang tua, tapi juga guru itu sudah setelah setahun lebih dengan PJJ sudah kehabisan stamina dan kehabisan kreativitas, sehingga variasi tatap muka sudah perlu dibuka. Karena kalo dipaksakan PJJ terus, kreativitas habis, kesabaran habis dan justru malah kondisi lebih buruk akan terjadi,” kata Bukik.