Jakarta (ANTARA) - Kepolisian Republik Indonesia, Jumat (30/4/2021), merilis penangkapan terduga teroris bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, sebanyak 99 orang dari sejumlah wilayah di Indonesia.
Sejak 28 Maret 2021, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri menangkap terduga teroris tersebut di Makassar 55 orang, Yogyakarta 9 orang, DKI Jakarta 12 orang, Jawa Tengah enam orang, Jawa Barat tujuh orang, Nusa Tenggara Barat lima orang, dan Jawa Timur lima orang.
Tim Densus 88 Anti Teror Polri telah melaksanakan operasi pencegahan dan penindakan terorisme sebelum bom bunuh diri Makassar maupun sesudahnya.
Sebelum bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Densus 88 Anti Teror Polri menangkap 20 terduga teroris kelompok Vila Mutiara.
Pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar diketahui tergabung dalam kelompok kajian Villa Mutiara. Setelah kejadian teror di Gereja Katedral hingga 29 April 2021, sebanyak 55 orang terduga teroris ditangkap Densus 88 Anti Teror Polri.
Dari 55 orang terduga teroris terdiri atas 48 laki-laki dan 7 wanita. Para terduga teroris diketahui berasal dari Jaringan Ansharut Daulah (JAD) Makassar yang berafiliasi dengan kelompok militan ISIS.
Berita penangkapan terduga teroris kerap kali tersiar di media massa, padahal upaya pencegahan dan penindakan terorisme-radikalisme di Tanah Air oleh aparat kepolisian tidak hanya penegakan hukum berupa penangkapan atau hard approach, tapi juga pendekatan lunak atau soft approach berupa pencegahan.
Kepala Pusat Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyebutkan kegiatan penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 adalah hard approach.
Sedangkan, tindakan pencegahan dengan pendekatan lunak juga dilakukan seperti kontraradikalisasi dan deradikalisasi.
Kontraradikalisasi adalah membentengi orang-orang supaya tidak terkena paham-paham radikal.
Kegiatan ini bisa dilakukan oleh anggota Bimas maupun Bhabinkamtibmas bekerja sama dengan alim ulama dan sekolah. Melakukan sosialisasi maupun pengajian untuk mengingatkan masyarakat terhindar dari paham-paham radkalisme.
Ada juga deradikalisasi dilaksanakan bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dengan orang-orang yang terpapar paham radikal diberikan pemahaman lagi.
"Upaya pencegahan porsinya lebih banyak, jangan tunggu orang jadi teroris dulu baru ditangani, tidak begitu. Tapi, bagaimana orang sebelum jadi teroris itu dibentengi, program pencegahan yang diperbesar," kata Rusdi.
Bhabinkamtibmas sambangi desa
Sementara itu, Ipda Miftahul Munir, anggota Bhabinkamtibmas di Desa Jogoloyo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, aktif menyampaikan pesan pencegahan radikalisme dan terorisme kepada masyarakat termasuk kaum muda.
Di sela tugas utamanya di Mapolsek Jogoloyo, Miftahul melakukan kegiatan sambang desa, yakni mengunjungi masyarakat di desa wilayah pendampingannya. Kegiatan itu rutin dilaksanakannya sepekan atau sebulan sekali.
Ia aktif menyampaikan pesan-pesan kamtibmas kepada remaja yang ditemuinya.
Pesan yang disampaikannya mengajak remaja untuk waspada terhadap paham-paham radikalisme yang menyebar di media sosial. Lalu, menginformasikan kabar terkini soal aksi terorisme yang terjadi di sejumlah wilayah.
Ia juga menyampaikan kepada remaja desa tersebut bahwa paham radikalisme hingga melakukan aksi terorisme hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Pesan-pesan kamtibmas itu disampaikan Miftahul dengan bahasa yang merangkul anak muda, mudah diserap, dan diterima luas.
"Saya bilang begini, 'Adik-adik, di media sosial banyak anak-anak muda yang ikut-ikut hal yang belum tentu benar, seperti radikalisme. Kalian masih muda, masa depan masih panjang, jangan sampai ikut paham radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila dan undang-undang. Yang bisa menghancurkan masa depan kalian'," katanya.
Pencegahan radikalisme
Program pencegahan radikalisme tidak hanya berjalan di zona rawan terorisme, tetapi di seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Di Polda Metro Jaya, menurut Yusri, pihaknya mempunyai strategi dalam penanganan terorisme dan radikalisme yakni preemtif, preventif dan penegakan hukum.
Penegakan hukum, katanya, adalah langkah terakhir yang dilakukan oleh kepolisian dalam menindak terorisme dan radikalisme.
Upaya preemtif yang dilakukan, yakni Polda Metro Jaya melakukan program sambang warga.
Kegiatan itu dilakukan bersinergi dengan pemerintah daerah, yang bersama camat dan lurah menyambangi masyarakat melakukan deradikalisasi yakni mendekati masyarakat dan mencegah paham-paham radikal masuk.
Ada juga program preemtif di pesantren. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Bhabinkamtibmas dan juga intelijen.
Dalam pencegahan ini, Polda Metro Jaya juga menggunakan momen hari besar keagamaan untuk melaksanakan program deradikalisasi, yang mendekatkan Polri dengan masyarakat lewat program cooling system atau menenangkan masyarakat.
Program ini pun melibatkan langsung Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Fadil Imran yang datang dan menyapa para tokoh-tokoh agama, berkeliling masjid-masjid mengikuti kegiatan Ramadhan, dan membagi bantuan.
Polda Metro Jaya memiliki program Ramadhan Barokah, yang membagikan takjil kepada masyarakat. Dananya berasal dari sumbangan anggota Polri setiap Jumat yang dikumpulkan lewat kotak amal.
Bantuan takjil dibeli dari para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti warteg, dalam rangka menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
"Harapannya, tercipta keamanan dan ketertiban masyarakat di DKI Jakarta yang aman, tertib, dan sehat. Sekarang pandemi COVID-19, kalau kita sudah aman, tertib dan sehat, masyarakat mau apalagi," kata Yusri.
Pencegahan terorisme bukan saja tanggung jawab Polri, tapi seluruh elemen masyarakat untuk mau bergandengan tangan menangkal paham radikalisme masuk ke masyarakat.
Mantan tokoh Jemaah Islamiyah (JI) jaringan terorisme Asia Tenggara, Nasir Abbas mengatakan pencegahan terorisme harus dilakukan di level masyarakat dengan mengaktifkan pengawasan RT, RW, lurah, camat dan Bhabimkabtimas, seperti lewat wajib lapor pendatang 1x24 jam.
Ketegasan aparat wilayah dan masyarakat, tidak hanya dapat mencegah radikalisme dan terorisme, tapi juga bentuk-bentuk kejahatan lainnya, seperti narkoba, prostitusi, dan perdagangan orang.
Sejalan dengan Abbas, Rusdi menyebutkan aturan wajib lapor 1x24 jam itu harus dilakukan.
"Jika aturan itu ditegakkan oleh seluruh RT dan RW, pasti terkontrol siapa yang datang, datang dari mana, tinggal di mana, menginap di mana, itu akan terkontrol. Tetapi, ketika aturan itu lalai dilaksanakan, berakibat lingkungan sulit dikontrol," ujarnya.
Rusdi juga menyebutkan pencegahan menempatkan porsi terbanyak dalam upaya kepolisian melakukan penanggulangan radikalisme dan terorisme.
Dalam ilmu kepolisian di era ini, polisi yang hebat, polisi yang berhasil, bukan polisi yang banyak memasukkan orang ke penjara dan memberikannya ke jaksa untuk dipenjarakan.
"Polisi yang hebat itu, polisi yang mampu mencegah kejahatan tidak terjadi, masyarakat tidak menjadi korban dan masyarakat tidak menjadi pelaku kejahatan. Program pencegahan harus dikedepankan dalam era modern ini," kata Brigjen Rusdi.