Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan amendemen UUD 1945 merupakan kewenangan MPR RI.
Mahfud dalam siaran persnya, di Jakarta, Kamis, mengatakan pemerintah tidak berada dalam posisi setuju atau tidak karena tidak mempunyai kewenangan.
"Resminya pemerintah tidak bisa mengatakan setuju perubahan atau tidak setuju perubahan. Pemerintah dalam hal ini hanya akan menyediakan lapangan politiknya. Silakan sampaikan ke MPR/DPR RI, kita jaga, kita amankan. Itu tugas pemerintah. Ada pun substansi mau mengubah atau tidak itu adalah keputusan politik, lembaga politik yang berwenang," kata Mahfud.
Mahfud saat menjadi pembicara kunci pada acara Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan oleh Integrity Lawfirm yang mengambil tema "Urgensi Amandemen Konstitusi di Tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?" secara daring, Kamis, mengatakan perubahan konstitusi merupakan wewenang MPR yang mewakili seluruh rakyat, yang kaki-kaki kelembagaannya ada di DPR, partai politik, DPD, dan lainnya.
"Sehingga, berbagai kekuatan atau aspirasi di dalam masyarakat tentunya disalurkan disalurkan ke dalam kaki-kaki kelembagaan yang disediakan oleh konstitusi itu," tuturnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menegaskan pemerintah tidak ikut campur dalam rencana amendemen terbatas itu.
"Pemerintah tidak menyatakan setuju atau tidak setuju, karena sebenarnya perubahan itu tidak perlu persetujuan pemerintah," ujarnya.
Namun Guru Besar Hukum Tata Negara ini menggarisbawahi karena konstitusi itu adalah produk resultante politik, maka di dalam sepanjang sejarah Indonesia tidak ada.
Bahkan, hampir tidak ada, sebuah produk konstitusi itu yang selalu dianggap bagus. Begitu dilahirkan langsung dikritik bahwa ini salah.
"Konstitusi itu resultante, produk kesepakatan berdasar situasi sosial politik ekonomi dan budaya pada saat dibuat. Mungkin sekarang sudah ada perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya sehingga perlu berdiskusi lagi untuk mempersoalkan. Saya kira itu bukan wewenang pemerintah. Tetapi akademisi boleh membahas itu, baik dan buruknya tidak dilarang," kata Mahfud.
Pembicara lain dalam diskusi itu, antara lain, Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Senior Partner Integrity Law Firm Denny Indrayana, Ketua PSIK Indonesia Yudi Latief, dan Akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti.