Jakarta (ANTARA) - Ketika Pemerintah membubarkan Dewan Ketahanan Pangan, sekitar empat tahun lalu, banyak pihak merisaukan simpul koordinasi pangan yang diperkirakan bakal banyak melahirkan persoalan turunan.
Lembaga ad hoc nonstruktural yang merajut komunikasi dan koordinasi antarkementerian/lembaga di tingkat pusat atau pun antara pusat dan daerah menjadi tidak ada lagi.
Maka kecenderungan bagi masing-masing lembaga untuk mementingkan ego sektoral, sepertinya bakal semakin menggejala. Setiap sektor akan mendahulukan kepentingan masing-masing, sehingga kebersamaan antarsektor menjadi sulit untuk diwujudkan.
Padahal, pembangunan pangan bersifat multi-sektor dan multi-pihak. Pembangunan pangan sangat membutuhkan simpul koordinasi secara utuh dan holistik.
Banyak literatur tentang pembangunan pangan mengartikan simpul koordinasi pangan (SKP) merupakan suatu sistem atau mekanisme koordinasi yang menghubungkan berbagai pemangku kepentingan di bidang pangan, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, industri pangan, petani, dan lain-lain.
Untuk itu, maka tujuan dan fungsi dari simpul koordinasi pangan sangat penting untuk dirumuskan bersama.
Tujuan simpul koordinasi pangan tidak lain adalah untuk meningkatkan koordinasi dan sinergi antarpemangku kepentingan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pangan, meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pangan, mengurangi ketimpangan dan kerawanan pangan, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pangan.
Sementara yang menjadi fungsi simpul koordinasi pangan adalah mengoordinasikan kebijakan dan program pangan, menghimpun, dan mengolah data pangan, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pangan, meningkatkan komunikasi dan kerja sama antarpemangku kepentingan, mengembangkan sistem peringatan dini untuk mengatasi krisis pangan.
Mengacu pada tujuan dan fungsi tersebut, maka simpul koordinasi pangan memiliki manfaat untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan pangan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengurangi risiko kekurangan pangan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan, meningkatkan kemampuan menghadapi krisis pangan.
Hal itu, termasuk pencarian sistem pangan yang cocok untuk dikembangkan di negeri ini, hingga kini masih terus dikembangkan.
Isu terhangat yang sekarang ramai dibincangkan adalah adanya kemauan politik Pemerintahan Prabowo/Gibran untuk membebaskan Perum Bulog dari statusnya sebagai badan usaha milik negara (BUMN) menjadi lembaga otonom pemerintah langsung di bawah presiden.
Hal ini menarik untuk dibincangkan, karena selama 21 tahun Perum Bulog menyandang atribut sebagai perusahaan pelat merah, ternyata keperkasaannya selaku dunia usaha hampir tidak terdengar.
Sahabat petani
Perum Bulog lebih populer di mata publik sebagai operator pangan yang melaksanakan penugasan khusus dari pemerintah, seperti impor beras, misalnya.
Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal bila Presiden Prabowo ingin menyiapkan transformasi kelembagaan Perum Bulog menjadi lembaga pangan nasional yang betul-betul disegani keberadaannya dan mampu mendukung pencapaian swasembada pangan.
Selain itu, agar Bulog juga semakin memperkokoh persahabatannya dengan petani.
Sampai sejauh ini, Perum Bulog merupakan perusahaan logistik milik negara yang bertujuan untuk mengelola dan mengatur pasokan pangan strategis, seperti beras, gula dan gandum.
Seiring dengan itu, perusahaan ini juga berperan dalam upaya menstabilkan harga pangan, meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Selain memiliki tujuan yang bersifat umum, Perum Bulog memiliki pula beberapa tujuan strategis, di antaranya meningkatkan ketahanan pangan nasional, mengurangi ketimpangan dan kerawanan pangan, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, serta menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Karena itu, Bulog memegang peran strategis sebagai simpul koordinasi pangan yang ideal untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan.
Sebagai pengendali stabilitas pasar, Bulog harus fokus pada penyerapan hasil panen petani secara adil, pengelolaan stok nasional yang memadai, serta distribusi yang efisien untuk menghindari fluktuasi harga yang merugikan.
Dalam peran ini, Bulog menjadi penyeimbang antara kebutuhan petani, konsumen, pemerintah, dan memastikan semua pihak diuntungkan.
Selain itu, Bulog dapat berperan sebagai pusat koordinasi antar-lembaga, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pangan Nasional.
Peran ini melibatkan penyediaan data pangan secara real-time untuk pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, serta koordinasi logistik guna menjamin pasokan merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Dengan memanfaatkan teknologi digital, seperti sistem manajemen logistik dan blockchain, Bulog juga dapat meningkatkan transparansi operasional dan efisiensi distribusi, mencegah kebocoran stok dan ketidaksesuaian data.
Bulog juga perlu menjadi penggerak diversifikasi pangan, dengan mendukung pengembangan dan distribusi pangan lokal, seperti sagu, sorgum, dan umbi-umbian.
Hal ini tidak hanya membantu mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional yang lebih beragam dan berkelanjutan.
Dengan menjalankan fungsi ini secara optimal, Bulog dapat bertransformasi menjadi lembaga pangan modern yang adaptif, efisien, dan berorientasi pada kesejahteraan nasional jangka panjang.
Memperhatikan tujuan Perum Bulog tersebut, jelas tergambar betapa strategisnya perusahaan itu dalam mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang kokoh.
Pertanyaan kritisnya, mengapa tujuan yang sangat mulia ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal oleh Perum Bulog? Apakah dikarenakan posisinya yang lebih mengemuka sebagai operator pangan atau ada alasan lain lagi yang perlu dikaji bersama?
Jujur diakui, dengan status sebagai BUMN, Perum Bulog masih belum leluasa untuk melepaskan diri dari posisinya sebagai perusahaan pelat merah, yang harus mampu meraup untung.
Sebagai BUMN, Perum Bulog tidak boleh rugi. Akan tetapi, ketika Perum Bulog melaksanakan fungsi sosialnya, Perum Bulog diharapkan tidak sekadar mencari untung dari sesuatu yang menjadi hajat hidup masyarakat.
Dihadapkan pada suasana seperti ini, sangat tepat jika pemerintah ingin memerankan Perum Bulog secara lebih tegas sebagai lembaga pangan yang berkontribusi nyata terhadap pencapaian swasembada pangan, maka salah satu jalan keluarnya, membebaskan Perum Bulog dari status BUMN.
Perum Bulog disarankan menjadi lembaga otonom pemerintah yang siap melakukan penugasannya untuk pemenuhan pangan masyarakat.
Dalam semangat membangun persahabatan dengan petani, akan lebih nyata bila Perum Bulog mampu menjadi offtaker untuk membeli gabah/beras petani dengan harga wajar dan memberi keuntungan maksimal bagi petani.
Sebagai sahabat sejati petani, Perum Bulog juga akan melindungi petani dari perilaku oknum yang ingin memarginalkannya dari panggung pembangunan.
Ke depan, status badan hukum Perum Bulog perlu terus dikaji untuk menemukan konsep paling idealnya, seiring dengan para penentu kebijakan yang kini masih terus menggodok aturan terkait simpul koordinasi pangan itu sendiri.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peran Bulog dalam simpul koordinasi pangan