Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) - Seorang peneliti, Panji Ahmad Fauzan menganalisa pola komunikasi hewan primata endemis pulau Sulawesi, Tarsius (Tarsius tarsier) di Gorontalo.
Menurutnya Tarsius merupakan primata nokturnal, yang menggunakan suara khas berfrekuensi tinggi sebagai media komunikasi.
"Ada tiga tipe pola berkomunikasi tarsius yakni suara memangil atau calling, duet dan suara ketakutan atau distress. Calling adalah suara yang dihasilkan individu jika berada di lokasi yang jauh dari grupnya," kata Biodiversity Officer Burung Indonesia Program Gorontalo itu, Kamis.
Suara yang memiliki frekuensi antara 4-8 KiloHertz (kHz), memiliki tempo 1 ketukan/detik. Fungsi dari suara ini antara lain untuk mengetahui posisi individu dalam satu grup. Suara panggilan ini sering terdengar tengah malam dan tidak terjadwal.
Untuk pola komunikasi duet, suara yang dihasilkan oleh sepasang tarsius pada pagi dan sore hari, tepatnya setelah matahari terbenam dan sebelum matahari terbit .
"Fungsinya untuk memanggil individu lain untuk berkumpul di suatu lokasi, juga penanda batas teritori keluarga. Panjang dari nyanyian duet ini antara 30-60 detik," ungkapnya.
Terdapat dua komponen suara dari duet tersebut, yakni suara rendah yang berfrekuensi 5-10 kHz dan suara tinggi yang berfrekuensi 9-13 kHz.
Suara rendah memiliki tempo yang lebih cepat, dalam 60 detik terdapat 40-45 ketukan. Sedangkan suara tinggi memiliki 6-8 ketukan dalam 60 detik. Pada suara tinggi ini memiliki karakteristik yang menurun frekuensinya.
Sementara untuk pola "distress" adalah suara yang dihasilkan oleh individu Tarsius yang sedang dalam kondisi berbahaya atau merasa terancam.
Suara yang memiliki ketukan antara 8-10 ketukan dalam tempo 2-3 detik. Suara yang digunakan untuk memberikan informasi ancaman kepada individu lain dalam grup.
Panji mengatakan penelitiannya dilakukan di empat lokasi di Hutan Popayato-Paguat di Kabupaten Pohuwato, menggunakan alat rekam pada pukul 17.00-07.00 Wita dengan jarak satu dengan lainnya minimal 100 meter. Penempatan alat rekam mengikuti alur sungai yang ada pada lokasi.
"Dugaan awal menunjukkan tarsius memiliki hubungan erat dengan habitat yang berdekatan dengan sungai, dikarenakan tegakan atau rumpun bambu yang selalu ditemukan dekat dengan sungai," tambahnya.
Jarak 100 meter adalah jarak minimal yang direkomendasikan untuk meletakkan alat perekam untuk memantau kehadiran dan perilaku tarsius
Panji belum mempulikasikan hasil penelitiannya secara resmi, dan masih akan mengumpulkan data kepadatan dan populasi Tarsius.
"Primata memiliki banyak tipe suara, namun khusus untuk Tarsius belum banyak yang mendeskripsikannya," imbuhnya.