Jakarta (ANTARA) - Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital, pemerintah Indonesia menyadari bahwa sistem perpajakan harus turut berevolusi untuk merespon lompatan perubahan sektor perpajakan yang timbul dari ekositem digital tersebut.
Lahirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 adalah salah satu wujud nyata dari respon adaptif tersebut, dimana regulasi dimaksud bukan sekadar aturan administratif, tetapi bagian dari strategi besar untuk memperluas basis pajak, menciptakan keadilan fiskal, serta menjaga keseimbangan antara inovasi dan kepatuhan pajak di era digital.
Peraturan ini dikeluarkan untuk memberi kemudahan dan kesederhanaan administrasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak
Secara garis besar, peraturan itu mengatur tentang penunjukan pihak lain sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh), serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh yang dipungut oleh pihak lain atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri melalui mekanisme perdagangan berbasis sistem elektronik (e-commerce/digital platform).
Intinya, kebijakan ini juga memperkuat peran penyelenggara marketplace sebagai kolektor PPh Pasal 22.
Transformasi digital sendiri telah mengubah wajah perekonomian secara radikal. Pedagang kecil dan besar kini menjual produknya tidak lagi melalui toko fisik, tetapi melalui marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Blibli, hingga platform global seperti Amazon dan TikTok Shop. Volume transaksi yang besar dan berbasis teknologi ini menjadikan e-commerce sebagai sektor yang kaya potensi pajak.
Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan para pelaku usaha digital, termasuk UMKM, tetap membayar pajak dengan tertib tanpa membuat mereka terbebani secara berlebihan. PMK 37 menjadi jawaban melalui pendekatan baru: menunjuk marketplace (Pihak Lain) sebagai pemungut PPh Pasal 22, dan menetapkan tarif ringan, yakni hanya 0,5% dari peredaran bruto.
Manfaat Strategis Aturan Pajak e-Commerce
Kebijakan PMK 37 Tahun 2025 ini menghadirkan sejumlah manfaat strategis yang menjadikannya relevan dan berdampak dalam konteks perpajakan modern.
Pertama, dari sisi keadilan dan kepastian hukum, memberikan perlakuan yang setara kepada seluruh pedagang digital, tanpa membedakan apakah mereka merupakan pelaku usaha besar atau kecil. Dengan menerapkan prinsip proporsionalitas, ketentuan ini menjamin bahwa setiap pedagang dikenai kewajiban pajak sesuai dengan skala usahanya.
Pelaku usaha mikro yang omzetnya masih rendah tetap diberikan perlindungan melalui pembebasan pemungutan pajak, sementara pelaku yang sudah berkembang dikenai pungutan sesuai kapasitas ekonominya. Ini menciptakan ekosistem yang lebih adil dan menghindarkan distorsi di pasar digital.
Kedua, dari aspek administratif, kebijakan ini menciptakan efisiensi yang signifikan. Selama ini, proses pemungutan dan pelaporan pajak seringkali membebani pelaku usaha kecil karena kurangnya pemahaman terhadap aturan perpajakan dan terbatasnya sumber daya. Dengan menunjuk marketplace sebagai pemungut PPh, PMK 37 mengalihkan beban administratif itu kepada entitas yang lebih siap secara teknologi dan sistem.
Marketplace telah memiliki infrastruktur digital, data transaksi yang terekam secara otomatis, dan sistem pelaporan yang lebih tertib, sehingga proses pemungutan pajak dapat dilakukan secara real time, tepat, dan akurat. Hal ini juga membantu Direktorat Jenderal Pajak dalam pengawasan tanpa harus menelusuri satu per satu pelaku usaha digital secara manual.
Ketiga, kebijakan ini memperluas basis pajak yang selama ini sempit dalam sektor digital. Banyak pelaku usaha digital, khususnya yang beroperasi di platform daring, sebelumnya tidak terjangkau oleh sistem perpajakan karena sifat bisnisnya yang cair, tanpa tempat usaha tetap, dan minim pelaporan.
Melalui integrasi data dan mekanisme pemungutan oleh pihak ketiga, pemerintah kini mampu mengidentifikasi dan mengenakan pajak kepada mereka yang sebelumnya sulit terdeteksi. Dengan kata lain, PMK 37 tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mendorong inklusi fiskal yang lebih luas di era ekonomi digital.
PMK 37 menegaskan bahwa yang dapat ditunjuk sebagai "Pihak Lain" adalah penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, baik yang berdomisili di dalam maupun luar negeri, asalkan memenuhi kriteria tertentu seperti memiliki transaksi di Indonesia yang melebihi ambang batas atau traffic pengguna yang tinggi.
Pihak ini wajib memungut PPh Pasal 22 dari pedagang dalam negeri atas setiap transaksi penjualan barang atau jasa yang dilakukan melalui platform-nya. Pajak yang dipungut tersebut kemudian disetor ke kas negara dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
Sementara itu, pedagang dalam negeri wajib memberikan informasi seperti NPWP atau NIK, alamat korespondensi, dan status peredaran brutonya apakah di bawah atau di atas Rp500 juta per tahun. Jika di bawah Rp500 juta, maka mereka dikecualikan dari pemungutan pajak (dengan menyampaikan surat pernyataan).
Namun, jika peredaran mereka melebihi ambang batas, mereka akan dikenakan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh platform sejak bulan berikutnya setelah status tersebut disampaikan. Bahkan jika mereka tidak menyampaikan informasi apapun, maka platform tetap berhak memungut pajak sesuai ketentuan.
Pendekatan Bijak dan Proporsional
PMK 37 Tahun 2025 tidak hanya hadir sebagai alat pungutan semata, tetapi juga dirancang dengan pendekatan yang bijak dan proporsional. Pemerintah memahami bahwa tidak semua transaksi di ranah digital memiliki karakteristik yang layak untuk langsung dikenai pungutan melalui mekanisme yang sama. Oleh karena itu, regulasi ini memberikan sejumlah pengecualian terhadap transaksi tertentu yang dianggap memerlukan perlakuan khusus.
Salah satu bentuk pengecualian yang paling menonjol adalah terhadap penjualan yang dilakukan oleh pedagang orang pribadi dengan omzet yang belum melebihi Rp500 juta dalam satu tahun pajak. Bagi kelompok usaha mikro ini, pemerintah memilih untuk tidak langsung memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 melalui marketplace.
Sebaliknya, mereka diberikan ruang untuk tumbuh dan diberi keleluasaan administratif, dengan catatan bahwa mereka wajib menyampaikan surat pernyataan omzet kepada pihak platform. Kebijakan ini sejalan dengan semangat keadilan, di mana pajak tidak dikenakan secara seragam tanpa mempertimbangkan kapasitas ekonomi pelaku usaha.
Pengecualian juga berlaku terhadap transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, serta barang-barang tertentu seperti emas perhiasan, emas batangan, atau batu permata. Produk-produk ini memiliki karakteristik bisnis yang unik, seperti tingkat fluktuasi harga yang tinggi atau telah diatur dalam ketentuan perpajakan tersendiri. Maka, pemungutan PPh Pasal 22 secara langsung oleh marketplace dikecualikan agar tidak menimbulkan tumpang tindih atau beban ganda yang bisa mengganggu kelangsungan usaha.
Selanjutnya, jasa pengiriman atau ekspedisi yang dilakukan oleh mitra perusahaan aplikasi seperti pengemudi ojek online, juga tidak dikenai pemungutan pajak oleh marketplace. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa mitra aplikasi tersebut biasanya adalah pekerja mandiri atau pelaku usaha perorangan dengan pendapatan relatif kecil dan ketergantungan tinggi pada komisi. Memberikan pengecualian kepada mereka menunjukkan keberpihakan regulasi terhadap kelompok pekerja ekonomi digital yang paling rentan.
Tak kalah penting adalah pengecualian terhadap transaksi yang dilakukan oleh pedagang atau penyedia jasa yang telah mengantongi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh dari Direktorat Jenderal Pajak. Surat ini menjadi bukti formal bahwa wajib pajak yang bersangkutan memenuhi syarat tertentu, seperti status sebagai pemilik peredaran bruto tertentu (misalnya berdasarkan PP 55/2022), sehingga tidak perlu lagi dikenai PPh melalui jalur pemungutan marketplace. Ini menunjukkan adanya sinkronisasi antarperaturan dalam sistem perpajakan nasional.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengadopsi pendekatan digital dalam pungutan pajak. Beberapa negara bahkan telah melangkah lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Australia yang menerapkan vendor collection model dalam GST untuk platform seperti Uber dan Airbnb, di mana platform wajib memungut dan menyetor pajak atas transaksi pengguna.
Uni Eropa melalui e-commerce VAT reform 2021 mewajibkan platform digital untuk bertanggung jawab atas pemungutan PPN atas barang kiriman lintas negara, khususnya dari luar UE. Demikian pula India yang sudah menerapkan skema Tax Collected at Source (TCS) bagi e-commerce operator sebesar 1% dari nilai bruto penjualan, serta Amerika Serikat melalui Marketplace Facilitator Laws di lebih dari 40 negara bagian mengharuskan Amazon, eBay, dan semacamnya untuk memungut pajak penjualan, bukan pelaku UMKM di platform mereka.
Meski terobosan ini patut diapresiasi, masih ada tantangan yang harus diantisipasi, antara lain kepatuhan Informasi dari Pedagang dimana banyak pelaku UMKM belum familiar dengan administrasi perpajakan digital. Hal yang mesti diperhatikan adalah kesiapan sistem marketplace yang tidak semua platform memiliki sistem mutakhir untuk memisahkan objek pajak secara real time.
Berikutnya yang tidak kalah penting adalah potensi sengketa terutama jika pedagang merasa dipungut pajak padahal merasa berhak atas pengecualian. Untuk itu edukasi massal, penyediaan dashboard informasi digital oleh Ditjen Pajak, dan kolaborasi erat antara Ditjen Pajak, Kementerian Kominfo, serta marketplace menjadi kunci sukses implementasi PMK ini, sehingga penerapan PMK 37 Tahun 2025 menjadi langkah cerdas dan modern. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya mengejar penerimaan negara, tapi juga membangun sistem pajak yang inklusif, adil, dan adaptif terhadap zaman. Marketplace kini tidak lagi hanya sebagai tempat transaksi, tapi juga mitra fiskal.
Dengan penerapan yang konsisten, didukung literasi digital pelaku usaha yang meningkat, serta sistem perpajakan yang semakin terintegrasi, maka cita-cita reformasi perpajakan berbasis digital akan semakin nyata; Indonesia sedang menegaskan bahwa kedaulatan fiskal tidak boleh tertinggal oleh lompatan teknologi.
*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Esensi pajak e-commerce dan lompatan perpajakan digital Indonesia
