Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memperkuat
sumber daya manusia untuk melawan penyebaran berita palsu (hoax), kata
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri
Brigjen Pol Rikwanto.
Hal itu disampaikanya pada diskusi Kilas Balik 2016 "Mengupas
Jurnalisme Hoax" yang merupakan rangkaian kegiatan Pameran Foto dan
Peluncuran Buku Kilas Balik 2016 yang diselenggarakan oleh Galeri Foto
Jurnalistik Antara, Jakarta, Sabtu.
Rikwanto mengatakan hingga saat ini Markas Besar Polri telah
menerima sebanyak 4.000 laporan dari masyarakat tentang berita hoax.
"Dari 4.000 itu baru 400 yang diproses hukum, biasanya dikenakan
pasal 27 pasal 28 Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik," ujarnya.
Dia menjelaskan orang yang bermain di teknologi informasi, tentu
memiliki kemampuan untuk membuat dan menyebarkan berita hoax.
Untuk itu, dia mengaku pihaknya terus mempersiapkan sumber daya
manusianya untuk membangun kekuatan melawan penyebar berita hoax itu.
"Prajurit-prajurit, anggota-anggota yang kita kumpulkan, kita
latihkan, kita paksakan untuk bisa meng-counter (melawan) opini-opini
(informasi hoax) yang ada yang tentunya dari dasar pengetahuan,
keterampilannya belum mumpuni," ujarnya.
Dia mengatakan pihaknya terus menyaring atau menyeleksi anggota yang
dapat menggeluti bidang teknologi informasi untuk melakukan serangan
terhadap maraknya penyebaran informasi hoax.
"Kita sedang menyaring terus. Dari 30 orang cuma satu yang mumpuni
atau yang punya kemauan ke depan yang punya passion (hasrat)," tuturnya.
Dia menuturkan pihaknya telah membuka penerimaan Sekolah Inspektur
Polisi Sumber Sarjana untuk merekrut ahli-ahli informasi dan teknologi
serta komunikasi sehingga dapat melawan opini propaganda dan informasi
hoax.
Dia mengatakan pihaknya juga memiliki "cyber army" untuk menelusuri berita hoax di dunia maya.
Dalam diskusi itu, dia menjelaskan berita "hoax" muncul pada saat
momentum tertentu seperti pemilihan presiden dan kepala daerah.
Menurutnya, integritas media dalam membuat berita dapat terganggu
misalnya karena pemilik media membuat partai atau masuk partai dan
menggunakan medianya untuk berkampanye, ada sejumlah partai membuat
media baru, banyak wartawan yang menjadi joki politik, sejumlah wartwan
merangkap jadi tim sukses.
Pada akhirnya, dia mengatakan publik kehilangan kepercayaan terhadap netralitas pers dan kebenaran isi media.
Pada saat informasi media arus utama (mainstream) tidak bisa
dipercaya, Rikwanto menuturkan masyarakat akan mencari informasi di
media sosial, padahal, menurut penelitian 90 persen informasi di media
sosial tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Informasi yang berujung hoax di media sosial sendiri tidak
didasarkan pada perolehan informasi yang kredibel, tidak ada penelitian
untuk memeriksa kebenaran informasi.
"Kalau ada 1.000 orang maka ada seribu yang menulis ada seribu pemikiran ada banyak dasar penulisan," ujarnya.
Polri perkuat SDM lawan berita "hoax"
Sabtu, 4 Maret 2017 19:58 WIB