London, (ANTARAGORONTALO) - Kemunduran pendidikan dan riset di dunia Islam menjadi perhatian kalangan intelektual yang tergabung dalam Muslimat Indonesia Antar-Negara untuk Ummat (Mutiara Ummat) guna menyelenggarakan diskusi Pendidikan Sekuler Barat VS Pendidikan Islam Khilafah.
Diskusi yang dipandu Widya Hanum Sari mahasiswi PhD di School of Education Charles Darwin University Australia, menghadirkan Arie Vatresia mahasiswi PhD bidang Computer Science di University of Birmingham Inggris dan aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Chutbah Basyiroh, demikian pengurus Mutiara Ummat, Sarah Ismi Kamilah, di Paris, Prancis kepada Antara London, Kamis.
Dalam pengantarnya, Widya menyatakan saat ini pendidikan yang didasari sekularisme telah menjadi arus besar (mainstream) model pendidikan di berbagai penjuru dunia termasuk di dunia Islam. Pengajar Bahasa Inggris di Universitas Kanjuruhan Malang, Jawa Timur ini membuka diskusi dengan pertanyaan, "Apakah sistem pendidikan sekuler seperti yang diterapkan di Barat membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia sehingga harus diadopsi oleh dunia Islam?"
Arie Vatresia menggambarkan sejumlah persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di dunia Islam di antaranya adaptasi penerimaan teknologi yang masih sangat minim ditandai belum adanya otomatisasi dalam birokrasi, juga minimnya penelitian dan penempatan teknologi di negeri muslim. Menurut pengajar di Universitas Bengkulu ini, dana bukan persoalan utama ketertinggalan pendidikan dan riset di dunia Islam. Ia memberikan contoh yang terjadi di negara-negara Arab. Di sisi lain Arie menyinggung dominasi Barat terhadap sistem pendidikan di dunia Islam yang memunculkan beragam persoalan baru di antaranya komersialisasi pendidikan, komersialisasi riset, hingga fenomena keberadaan jurnal-jurnal predator.
Menurutnya, ini semua terjadi karena dalam pandangan sistem pendidikan Barat yang sekuler, pendidikan bukan lagi sekadar hak warga yang harus dipenuhi negara melainkan sudah menjadi salah satu sumber uang terutama bagi universitas-universitas terkemuka di Barat.
Sementara itu Chutbah Basyiroh menyatakan perbedaan mendasar sistem pendidikan sekuler dan Islam terletak pada filosofi tujuan pendidikan itu sendiri. Meski sama-sama menyatakan pendidikan sebagai hak dasar warga yang harus dipenuhi negara, sistem pendidikan Barat meletakkan pendidikan sebagai pabrik pencetak tenaga kerja untuk memutar roda ekonomi sehingga semua indikator keberhasilan selalu diukur dengan produksi materi.
"Tujuan dalam pendidikan Islam adalah mewujudkan masyarakat terdidik, beriman, dan bertakwa kepada Allah Swt," ujar Chutbah. Adanya nuansa keimanan dalam mayoritas masyarakat dan negara akan menjaga sistem pendidikan dari segala upaya komersialisasi.
Tentang biaya pendidikan dalam Islam, Chutbah merujuk pada potensi kekayaan umat Islam dan potensi sumber daya muslim yang sebetulnya besar. Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah mengubah pola pikir umat Islam termasuk kalangan intelektual untuk menerapkan Islam secara sempurna sekaligus memerdekakan diri dari berkiblat pada sistem sekuler Barat.
Pada sesi diskusi, mahasiswa PhD di University of Glasgow mengajukan pertanyaan cara Khilafah menata pengembangan riset dalam perspektif Islam. Dari Bangkok Thailand, peserta menanyakan cara membangun mental agar pelajar muslim Indonesia di Barat menjadi penyelesai masalah ketika kelak kembali ke tanah air. Pertanyaan terkait standar kualifikasi pendidik diajukan peserta dari Sheffield.
Diskusi diakhiri dengan menyimpulkan bahwa sistem pendidikan ideal harus dibangun di atas pondasi ketakwaan terhadap Allah Swt dalam negara Khilafah Islamiyah, yang disampaikan Sarah Ismi Kamilah. (