Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan larangan pengumuman hasil penghitungan cepat (quick count) Pemilu yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD (Pemilu Legislatif).
"Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis.
Menurut mahkamah, permohonan yang diajukan oleh sejumlah lembaga survei ini telah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009 atas pengujian pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008, yang telah menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009 tersebut mutatis mutandisberlaku pula terhadap permohonan a quo," kata Anggota Majelis Maria Farida, saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Dalam putusan tersebut, mahkamah mempertimbangkan bahwa jajak pendapat atau survei maupun penghitungan cepat (quick count) hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam proses penyelenggaran negara termasuk pemilihan umum.
Maria mengatakan tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman quick count itu telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.
"Dari sejumlah quick count selama ini tidak satu pun yang menimbulkan keresahan atau mengganggu ketertiban masyarakat, sebab sejak awal hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi," katanya.
Maria juga mengatakan bahwa sejak awal sudah diketahui oleh umum (notoir feiten) bahwa quick count bukanlah hasil resmi sehingga tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui.
Oleh sebab itu, lanjutnya, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945.
Namun demikian, kata Maria, Mahkamah perlu menegaskan bahwa objektivitas lembaga yang melakukan survei dan penghitungan cepat (quick count) haruslah independen dan tidak dimaksudkan untuk menguntungkan atau memihak salah satu peserta Pemilu.
"Sehingga lembaga survei yang mengumumkan hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) harus tetap bertanggung jawab baik secara ilmiah maupun secara hukum," katanya.
Pengujian ketentuan larangan pengumuman hasil penghitungan cepat (quick count) Pemilu yang diatur dalam UU Pemilu Legislatif ini dimohonkan oleh PT Indikator Politik Indonesia, PT Saiful Mujani, PT Pedoman Riset.
Menurut pemohon, norma yang diuji tersebut sebenarnya telah dibatalkan dalam putusan MK Nomor 09/PUU-VII/2009, yakni menghapus Pasal 245 ayat (2,) (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
Pasal 247 ayat (2) berbunyi: "Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang".
Pasal 247 ayat (5): "Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat" dan ayat (6)-nya menyebutkan: "Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu".
Sementara Pasal 291 menyebutkan: "Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta".
Sedangkan Pasal 317 mengatur ancaman pidana dan denda jika lembaga survei tidak memberitahukan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu dan memberitahukan hasilnya sebelum 2 jam.
MK batalkan ketentuan larangan pengumuman "quick count"
Kamis, 3 April 2014 18:33 WIB