Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menyebutkan Presiden Joko Widodo perlu mengajak ngobrol Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh terkait dengan kemungkinan partai itu beroposisi.
"Pernyataan Surya Paloh (SP) itu tidak bisa lagi dianggap main-main atau dianggap sepele oleh Presiden," kata Said, di Jakarta, Jumat.
Agar opsi itu jangan sampai menyulitkan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, menurut dia, ada baiknya Presiden segera mengagendakan pertemuan dengan Surya Paloh guna mengetahui secara pasti apa yang sesungguhnya diharapkan NasDem dari pemerintah
Said mengatakan bahwa sikap politik NasDem yang membuka peluang menjadi partai oposisi bisa dibaca pada dua kemungkinan. Pertama, sebagai gertakan politik. Kedua, sebagai kesungguhan politik.
Pernyataan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (SP) terkait dengan kemungkinan partainya akan berperan sebagai oposisi bisa saja dianggap sebagai sebuah siasat dari partai itu untuk merealisasikan kehendak-kehendak politiknya.
Di dalam praktik politik, salah satu siasat yang lazim digunakan parpol adalah melakukan gertakan politik. Lewat teknik ini partai berharap dapat menaikkan posisi tawarnya sehingga kepentingan-kepentingan politiknya dapat diakomodasi.
"Jadi, kalau mau dimajukan sebagai probabilitas, bisa saja pernyataan SP itu dianggap sebagai gertakan politik kepada Presiden karena mungkin juga ada target politik yang sedang disasar NasDem. Misalnya, jabatan di pemerintahan," kata Direktur Sigma ini.
Sekalipun jabatan menteri sudah penuh, kata dia, masih ada sejumlah jabatan lain di lingkungan pemerintah yang bisa diincar, seperti jabatan Dewan Pertimbangan Presiden, Staf Khusus Presiden, pimpinan lembaga nonkementerian, bahkan jabatan wakil menteri yang mungkin saja kelak akan ditambah oleh Presiden.
"Pertanyaannya apakah untuk mengincar jabatan-jabatan itu NasDem sampai perlu menggertak Presiden dengan membuka opsi menjadi oposisi? Saya kok tidak terlalu yakin dengan itu," ujar Said.
Pernyataan Surya Paloh itu bisa saja merupakan sebuah rencana politik yang pada waktunya sungguh-sungguh akan dilakukan NasDem.
Menurut dia, setidaknya ada tiga gejala politik yang bisa dibaca sebagai indikasi bahwa NasDem memiliki kesungguhan politik menjadi partai oposisi. Pertama, dilihat dari intensitas pernyatannya. Kedua, ditilik dari waktu pernyataannya. Ketiga, ditinjau dari tempat pernyataan itu disampaikan.
Pemerhati politik dan kenegaraan ini mengatakan bahwa pernyataan Surya Paloh itu bukan baru sekali menyuarakan opsi oposisi secara terbuka. Selain disampaikan secara berulang-ulang, diksi yang digunakan Surya Paloh dari waktu ke waktu juga makin tegas.
"Coba perhatikan kalimat SP usai bertemu dengan petinggi PKS, Rabu (30/10). Di situ Pak Surya sudah berani mengatakan secara lugas tentang kemungkinan Partai NasDem untuk berhadapan dengan pemerintah," tuturnya.
Kata "berhadapan" itu tiada lain maknanya kecuali terkait dengan urusan tentang-menentang atau melawan. Jadi, kata Said, NasDem ini sepertinya sudah memikirkan masak-masak dan tampak sungguh-sungguh dengan rencananya menjadi partai penentang pemerintah.
"Kalau kita lihat dari sisi waktunya, pernyataan SP terakhir di Kantor PKS pada tingkat tertentu sebetulnya telah mematahkan dugaan bahwa NasDem sedang berusaha menekan Presiden," jelasnya.
Kalau pernyataan itu disampaikan sebelum Presiden membentuk kabinet, kata Said, masih masuk akal untuk menduga pernyataan soal oposisi itu digunakan NasDem sebagai cara untuk menekan Presiden agar kadernya dapat menduduki lebih banyak kursi di kabinet.
Akan tetapi, setelah Kabinet Indonesia Maju terbentuk dan NasDem sendiri telah mendapatkan jatah tiga jabatan menteri, agak sulit memahami jika pernyataan itu tetap dikualifikasi sebagai sebuah gertakan politik.
Kalau bermaksud menekan Presiden untuk jabatan yang lain, pernyataan itu terbilang "overdosis" karena NasDem pasti tahu betul risiko yang harus ditanggung jika mereka bermain-main dengan opsi oposisi demi jabatan yang tidak terlalu strategis.
"Jadi, ketika opsi untuk beroposisi itu konsisten disuarakan setelah NasDem mendapatkan jatah menteri, hal ini menunjukkan ada gelagat yang serius dari NasDem untuk berada di luar pemerintahan," kata Said.
Konsultan senior Political and Constitutional Law Consulting (Postulat) ini mengatakan bahwa belum pernah ada sejarahnya parpol yang sudah diberikan jatah menteri dalam jumlah yang signifikan mengeluarkan pernyataan semacam itu di awal pembentukan kabinet.
"Ini baru pertama kali terjadi. Kalau ancaman itu disampaikan di akhir periode pemerintahan atau menjelang pemilu, ada banyak sekali contohnya," katanya.
Selain itu, dugaan bahwa NasDem memiliki kesungguhan politik untuk beroposisi makin menguat ketika SP mengulangi pernyataannya di kantor parpol yang telah bertekad bulat menjadi oposisi, yaitu PKS.
Dengan menyampaikan kembali pernyataannya di kantor partai oposisi, SP seperti ingin memberi pesan kepada Presiden bahwa partainya tidak ragu untuk mengambil pilihan politik yang sama dengan PKS.
"Ringkasnya, kalau Presiden merasa tidak senang dengan pernyataan NasDem, SP seolah ingin berkata, 'Silakan pecat menteri dari NasDem kapan pun Bapak mau, karena kami siap setiap saat menjadi partai penentang pemerintah'," paparnya.
Pengamat sebut Jokowi perlu ajak "ngobrol" Surya Paloh
Jumat, 1 November 2019 14:27 WIB