Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga optimistis bahwa perjanjian perdagangan mampu mengatasi proteksionisme saat krisis yang melanda akibat pandemi COVID-19.
“Proteksionisme adalah fenomena yang umum ditemui dalam setiap krisis, baik krisis karena faktor ekonomi maupun yang diakibatkan aspek kesehatan seperti pandemi COVID-19. Proteksionisme tersebut kemudian berpotensi menimbulkan deglobalisasi,” ujar Jerry lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa.
Wamendag mengatakan interdependensi antarnegara adalah sebuah keniscayaan, di mana tidak mungkin sebuah negara memenuhi kebutuhannya sendiri secara utuh.
“Tidak mungkin pula sebuah negara bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan dengan efisien tanpa perdagangan antarnegara. Misalnya, dalam konteks pandemi saat ini untuk penyediaan alat kesehatan, obat, dan vaksin, serta untuk kebutuhan- kebutuhan dasar lainnya,” jelas Jerry.
Menurut Jerry, proteksionisme menjadi fenomena umum karena setiap negara mengalami tekanan ekonomi yang berat.
Jadi sebagai langkah mitigasi ekonomi, masing-masing negara berusaha memulihkan perekonomian dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Namun untuk jangka panjang, kebutuhan membuka diri dengan perdagangan luar negeri akan kembali.
Wamendag melanjutkan semua negara saat ini tergabung dalam berbagai asosiasi atau persatuan antarnegara baik yang khusus perdagangan dan ekonomi maupun kerja sama yang lebih luas, baik dalam kerangka regional, multilateral, maupun global.
“Oleh karena itu, menutup diri secara penuh dari perdagangan luar negeri adalah sesuatu yang tidak mungkin. Bahkan Korea Utara tidak sepenuhnya tertutup dengan perdagangan antarnegara,” ujar Jerry.
Meskipun demikian Jerry menyadari akan ada perubahan kebijakan dari setiap negara dalam konteks pandemi ini. Pandemi COVID-19 telah berdampak serius pada banyak sektor dan akhirnya akan mempengaruhi struktur ekonomi nasional, regional, dan global.
“Inilah yang harus kita antisipasi dalam konteks perjanjian perdagangan internasional. Sebagai dampak pandemi, bukan hanya metode berundingnya yang disesuaikan, tetapi juga isi atau konten perjanjian akan berubah,” ujarnya.
Hal ini karena struktur ekonomi masing-masing negara, dalam konteks regional dan global akan berubah, misalnya pada hubungan Amerika Serikat (AS) dan China. Indonesia juga harus mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi.
Antisipasi ini berguna agar proses perundingan perdagangan makin menjadi lebih berimbang dan mempunyai jalan keluar dari kondisi-kondisi yang tidak diinginkan akibat dampak pandemi. Dengan demikian, masing-masing pihak akan memperoleh dan merasakan keadilan.
“Tujuan kita jelas, apapun perundingan dagang Indonesia, dengan negara manapun, harus mencerminkan kepentingan dalam negeri sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Kita harus mencermati seluruh butir perundingan agar tujuan itu tercapai,” tegas Jerry.
Untuk itu Jerry menekankan Kementerian Perdagangan terus menjalin sinergi lintas kementerian dan lembaga yang sudah berlangsung sangat baik. Ke depan, Jerry berharap sinergi ini terus meningkat, mengingat agenda pembahasan perjanjian perdagangan dan ekonomi Indonesia dengan negara lain masih cukup banyak.
“Kita bersyukur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan masing-masing kementerian dan lembaga berjalan dengan baik, begitu juga koordinasi di tingkat menteri koordinator maupun di tingkat kabinet. Sangat bagus sekali. Jadi meskipun agenda kita banyak, kita optimistis bisa menyelesaikannya dengan baik,” pungkas Jerry.